nontontv

Selasa, 07 April 2009

Shalat tanpa Penutup Kepala

Sholat bukanlah permainan, tapi ia adalah tanda ketundukan, keseriusan, ketawadhuan, dan kerendahan diri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Seyogyanya seorang hamba saat ia menghadap, ia mengenakan pakaian yang layak digunakan; jangan asal-asalan dalam melaksanakan sholat !! Pilihlah pakaian yang layak, sebab sebagian orang ada yang tidak memperhatikan pakaian dan kondisi dirinya, seperti ia masuk ke dalam sholat, tanpa mengenakan penutup kepala, semisal surban, songkok, dan lainnya. Seakan-akan ia adalah seorang pekerja kuli yang mengenakan pakaian seadanya, padahal ia menghadap Allah Robbul Alamin.

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Hai anak Adam, pakailah perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf: 31).

Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga (dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta (menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang paling utama adalah pakaian putih". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/281)]

Diantara perhiasan seorang mukmin adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (surban). Kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah (surban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau songkok. Adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka ini adalah kebiasaan orang di luar Islam.

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ

"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1359), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4077), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1104 & 3584)]

Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

كَانَ الْقَوْمُ يَسْجُدُوْنَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْقَلَنْسُوَةِ وَيَدَاهُ فِيْ كَمِّهِ

"Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) secara mu’allaq dengan shighoh jazm, Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]

Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

رَأَيْتُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَلَنْسُوَةً بَيْضَاءَ مِصُرِيَّةً

"Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)]

Inilah beberapa hadits dan atsar yang menunjukkan bahwa para salaf (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in), dan generasi setelahnya memiliki akhlaq, dan kebiasaan, yaitu menutup kepala baik di luar sholat, apalagi dalam sholat. Kebiasaan dan sunnah ini telah ditinggalkan oleh generasi Islam, hanya karena alasan malu, dan tidak sesuai zaman –menurut sangkaannya- !! Terlebih lagi dengan munculnya berbagai macam model, dan gaya rambut yang terkenal, seperti model Duran-Duran, Bechkham, Mandarin, dan lainnya. Semua ini menyebabkan sunnah memakai penutup kepala mulai pudar, dan menghilang. Nas’alullahas salamah minal fitan.

Jadi, disunnahkan bagi setiap orang yang mau melaksanakan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai imamah (sorban), songkok, atau lainnya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah. Boleh melakukan shalat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki, sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita, bukan untuk kaum pria. Namun tentunya jangan dijadikan kebiasaan seorang masuk ke dalam sholat ataupun di luar sholat tanpa mengenakan surban atau songkok.

Seorang yang tidak memakai penutup kepala -tanpa udzur-, maka makruh hukumnya. Terlebih lagi ketika melakukan shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya secara berjamaah. [Lihat As-Sunan wal Mubtadaat (hal. 69) karya Asy-Syuqoiriy].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Menurut hematku, sesungguhnya shalat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." (Permulaan hadits di atas adalah:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ مَنْ تُزُيِّنَ لَهُ

"Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." [HR Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’aani Al-Atsar (1/221), Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi di dalamAs-Sunan Al-Kubra (2/236) dengan sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalamAl-Majma’ Az-Zawa’id (2/51). Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1369]

Syaikh Al-Albaniy berkata lagi, "Tidak memakai tutup kepala bukan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk ini ; namun sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengenyampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala.

Adapun argumentasi yang membolehkan membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang dari Jama’ah Anshorus Sunnah di Mesir adalah dengan mengkiaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah usaha kias terburuk yang mereka lakukan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan termasuk dalam manasik, yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.

Seandainya kias yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. [Lihat Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah (hal. 164-165)].

Tidak pernah disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak memakai tutup kepala ketika shalat kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai imamah ketika shalat -selain pada saat melakukan ihram-, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya. Yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti. [Lihat Ad-Dinul Khalish (3/214) dan Al-Ajwibah An-Nafi’ah an Al-Masa’il Al-Waqi’ah (hal.110)]

Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa shalat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, dan sholat tidak batal sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan mayoritas ulama lain. Namun jangan disangka kalau hukum sekedar makruh, oh boleh dengan bebas tidak pakai tutup kepala, tidak demikian !! Karena ini bukan kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat. [Lihat Al-Majmu’ (2/51).

Anggapan orang awam bahwa menjadi makmum di belakang imam yang tidak memakai tutup kepala adalah tidak boleh. Ini adalah tidak benar. Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan, sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan shalat, dan mengikuti semua sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 75 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/?p=301

Wahai Para Da’I dan Penuntut Ilmu, Waspadai Ghurur

Ghurur adalah suatu sifat yang menipu penyandangnya. Dia adalah suatu kebodohan yang membuat seseorang menilai sesuatu yang jelek sebagai sesuatu yang baik dan kesalahan sebagai sesuatu kebenaran. Demikian dijelaskan Ibnul Jauzi t dalam bukunya Talbis Iblis. Sifat ini muncul karena bercokolnya syubhat atau kerancuan berpikir yang membuatnya salah dalam menilai. Iblispun masuk untuk menggoda manusia seukuran kemampuannya dan akan semakin mantap cengkramannya terhadap seseorang atau semakin melemah seiring dengan ukuran kesadaran atau kelalaian orang tersebut, juga sebatas kebodohan atau keilmuannya. Demikian beliau jelaskan dalam kitab tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencela sifat ini dalam banyak ayat Al-Qur`an. Karena sifat ini telah membuat sekian banyak manusia terjerembab dalam kubang kehinaan dan kerugian, yang tentunya murka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mereka rasakan. Orang kafir dan para munafik adalah sebagian contoh dari sekian banyak contoh korban sifat ghurur. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللهِ الْغَرُورُ
“Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: ‘Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?’ Mereka menjawab: 'Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu’.” (Al-Hadid: 14)
Yakni kalian tertipu oleh setan sehingga kalian tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan seagung-agungnya. Sehingga kalian tidak mengetahui kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kalian. Akhirnya kalianpun mengira bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian lakukan. (Zubdatut Tafsir)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menerangkan tentang kondisi orang kafir yang tertimpa ghurur sehingga tertipu oleh gemerlapnya kehidupan dunia:
ذَلِكُمْ بِأَنَّكُمُ اتَّخَذْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ لاَ يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلاَ هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ
“Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (Al-Jatsiyah: 35)
Demikian mereka dihancurkan oleh ghurur, sehingga mereka menuai hasil yang teramat getir di akhirat. Janganlah mengira bahwa hanya mereka yang tertimpa ghurur. Ternyata kaum muslimin pun, dari berbagai macam status sosial mereka, bahkan para ulama, para da’i, dan para penuntut ilmu juga banyak yang tertimpa ghurur. Sungguh realita yang menyedihkan.
Ibnu Qudamah t menjelaskan bagaimana ghurur ini menimpa orang-orang yang berilmu. Di antara mereka ada orang-orang yang menekuni ilmu syar’i akan tetapi mereka melalaikan pengawasan terhadap amal anggota badan mereka dan penjagaan dari perbuatan-perbuatan maksiat, serta lalai untuk menekan diri mereka agar senantiasa taat. Mereka tertipu dengan ilmu yang ada pada mereka sehingga mereka menyangka bahwa mereka punya tempat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Padahal bila mereka melihat dengan ilmu mereka tentu akan tahu bahwa ilmu tidak dimaksudkan dengannya kecuali amal. Kalaulah bukan karena amal tentu ilmu tersebut tidak bernilai, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (Asy-Syams: 9)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan: telah beruntung orang yang mempelajari ilmu bagaimana cara menyucikannya.
Orang yang tertimpa ghurur semacam ini, bila setan membisikkan kepadanya tentang keutamaan para ulama, maka hendaknya mengingat ayat-ayat yang menerangkan kepada kita tentang orang-orang yang berilmu tapi bermaksiat. Semacam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (Al-A’raf: 175-176)
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللهِ وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Al-Jumu’ah: 5)
Di antara mereka ada sekelompok yang menekuni ilmu dan amal lahiriah tapi tidak mengawasi kalbu mereka agar menghapus dari diri mereka sifat-sifat yang tercela, semacam sombong, hasad atau iri dan dengki, riya` dalam amal, mencari popularitas, ingin lebih unggul dari yang lain.
Mereka telah menghiasi lahiriah mereka, akan tetapi melupakan batin mereka dan mereka lupa terhadap hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada penampilan-penampilan dan harta benda kalian. Akan tetapi melihat kepada kalbu dan amal kalian.” (Shahih, HR. Muslim dan Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Sekelompok yang lain mengetahui bahwa akhlak-akhlak batin tersebut tercela. Namun karena sifat bangga diri yang tersimpan pada mereka, mereka merasa aman bahkan merasa telah terbebas dari sifat-sifat tercela itu. Mereka merasa lebih tinggi untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan pada mereka sifat-sifat itu, bahkan –menurut mereka– yang tertimpa itu adalah mereka yang masih awam. Bila muncul dalam diri mereka percik kesombongan, merekapun mengatakan dalam diri mereka, ‘Ini bukan sombong. Bahkan ini adalah demi kemuliaan agama dan untuk menampakkan kemuliaan ilmu, serta merendahkan ahli bid’ah.’ Enggan berteman dengan orang-orang yang lemah, maunya dengan orang yang berpangkat atau berduit, merasa hina bila berteman dengan kaum dhuafa.
Mereka tertipu oleh ghurur. Mereka lupa bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dahulu adalah orang-orang yang tawadhu’. Mereka bergaul dengan kaum dhuafa, bahkan mereka mengutamakan kefakiran dan kemiskinan.
Diriwayatkan bahwa 'Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu dahulu ketika pergi menuju Syam beliau mendapati sungai yang mesti diseberangi. Maka turunlah beliau dari untanya dan melepaskan dua sandalnya lalu membawanya sembari mencebur dan menyeberangi sungai itu dengan untanya. Saat itu berkatalah Abu 'Ubaidah kepadanya: “Sungguh pada hari ini engkau telah melakukan sesuatu yang besar di mata penduduk bumi.” Umar pun menepuk dadanya dan mengatakan: “Duhai seandainya selainmu yang mengatakan kata-kata ini, wahai Abu Ubaidah. Sesungguhnya kalian (bangsa Arab) dahulu adalah orang-orang yang paling hina dan rendah, lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat kalian dan muliakan kalian dengan sebab mengikuti Rasul-Nya. Maka bagaimanapun kalian mencari kemuliaan dengan selain jalan itu niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakan kalian.”
Sekelompok yang lain juga tertimpa ghurur, mereka mencari kesenangan dunia, kemuliaan, fasilitas, kecukupan dengan memperalat penampilan kealiman atau keshalihannya. Bila muncul pada mereka percikan riya`, iapun mengatakan dalam dirinya: “Saya hanya bermaksud menampakkan ilmu dan amal agar orang mengikuti saya, agar orang mendapat hidayah kepada ajaran ini.”
Padahal jika tujuan mereka benar-benar untuk memberi jalan hidayah untuk manusia, tentu ia akan merasa senang ketika manusia mendapat hidayah melalui selain tangannya. Sebagaimana senangnya ketika manusia mendapat hidayah melalui tangannya. Karena siapa saja yang tujuan dakwahnya adalah memperbaiki manusia, maka ia akan merasa senang ketika manusia menjadi baik melalui tangan siapapun.
Masih ada sekelompok yang lain. Mereka menekuni ilmu, membersihkan amal anggota badan mereka, serta menghiasinya dengan ketaatan, dan mengawasi amal kalbu mereka agar bersih dari riya, hasad, dan sombong. Akan tetapi masih tersisa di sela-sela kalbunya, tipu daya setan yang tersembunyi dan bahkan tipu daya jiwanya yang juga tersembunyi. Ia tidak tanggap akan keberadaannya. Engkau lihat mereka berupaya sungguh-sungguh dalam beramal dan memandang bahwa faktor pendorongnya adalah menegakkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi pada kenyataannya terkadang pendorongnya adalah mengharap sebutan orang terhadapnya. Sehingga terkadang muncul sikap merendahkan yang lain melalui sikapnya menyalah-nyalahkan yang lain, merasa dirinya lebih mulia dari yang lain.
Ini dan yang sejenisnya merupakan cacat yang tersembunyi. Tidak terdeteksi kecuali oleh mereka yang kuat dan cermat serta tentunya mendapat taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang semacam kami yang lemah ini maka kecil harapannya. Namun paling tidaknya seseorang mengetahui aib dirinya dan berusaha untuk memperbaikinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda:
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَائَتْه ُسَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Barangsiapa yang kebaikannya menyenangkannya dan kejelekannya menyusahkannya maka dia seorang mukmin.” (Shahih, HR Ath-Thabarani dari sahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir)
Orang yang semacam itu masih bisa diharapkan. Berbeda dengan mereka yang menganggap suci dirinya dan merasa dirinya termasuk orang-orang yang terpilih.
Inilah ghurur yang menimpa orang-orang yang memperoleh ilmu agama. Bagaimana kiranya dengan mereka yang puas dengan ilmu yang tidak penting dan meninggalkan yang penting? Wallahul musta’an.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=709

ADA APA DENGAN SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

KENAPA HARUS MEMUSUHI SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

Transkrip Ceramah

Fadhîlatu asy-Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabî


Pertama : Kami telah mengenal Syaikh Muhammad Hassân semenjak 10 tahun yang lalu –ini bukan waktu yang singkat-. Kami telah menasehati beliau sebelum orang lain menasehatinya. Saya telah menasehati Muhammad Hassân pada tahun 2000 sampai-sampai ia menjadi murka kepadaku. Kami ketika itu sedang sarapan dan ia keluar meninggalkan sarapannya dalam keadaan marah. Akan tetapi hal ini tidak menghalangi kami untuk tetap terus menjalin persaudaraan (ukhuwwah) dan memberikan nasehat, dan tetap saling menasehati dan memberikan wasiat di dalam kebenaran dan kesabaran.

Muhammad Hassân 10 tahun yang lalu –baik kita kehendaki maupun tidak- bukanlah Muhammad Hassân yang sekarang ini. Program-program (dakwah) di televisi telah bermunculan dan beliau memiliki andil di dalam menyebarkan aqidah dan dakwah (salafiyah). Beliau memiliki pengaruh yang nyata pada seluruh negeri Islam, setidak-tidaknya di dalam memberikan hidayah (bayân wa irsyâd, bukan hidayah taufik, pen) terhadap manusia secara umum.

Sebagaimana telah kami utarakan, bahwa dakwah salafiyah itu bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Sayyid Quthb walaupun kami memperingatkan darinya. Dakwah salafiyah juga bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Ibnu Lâdin walaupun kami juga memperingatkan darinya. Bukan pula yang hanya memperingatkan dari aktivitas takfîr (pengkafiran) walaupun kami turut memperingatkan darinya. Namun, dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kepada cahaya. Dan yang terpenting adalah aqidah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

“Banyaknya dosa namun tauhidnya lurus lebih baik daripada tauhidnya rusak dengan dosa yang sedikit.”

Apa artinya? Artinya adalah bahwa dakwah kita ini adalah dakwah aqidah. Apabila beliau memiliki aqidah yang lurus maka inilah yang pokok…

Muhammad Hassân saat ini, beliau banyak mengisi di program-program (dakwah) di televisi dan Alloh pun menganugerahkan kepadanya semangat. Kami melihat… bahwa dakwah beliau adalah dakwah aqidah dan mengikat manusia dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, mengutip ucapan para ulama seperti Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimîn dan al-Albânî dan memuliakan mereka. Manakah yang lebih utama (harus kita lakukan) di dalam dakwah kita, membantu, menasehati dan mendekatinya ataukah kita rusak, hancurkan (kehormatannya), dan menvonisnya bid’ah dan sesat?!

Yang manakala dia bertaubat (dari kesalahannya) kita malah berkata kepadanya “taubatmu tertolak”!

Manakala dia menghadap, kita malah berkata padanya dengan membelakanginya!

Apakah ini ada maslahat syar’i-nya walaupun hanya sedikit saja?!

Muhammad Hassan ketika datang untuk kesekian kalinya, kami duduk bersama beliau, dan ketika itu hadir bersama kami saudara DR. Muhammad Mûsâ Nashr dan saudara DR. Bâsim al-Jawâbirah. Kami pun memberikan beberapa nasehat kepada beliau (Syaikh Muhammad Hassan). Terutama tentang sikap beliau terhadap Sayyid Quthb. Lantas beliau berkata kepadaku secara tegas : “Ketika saya membaca buku Anda, Haqqu Kalimah al-Imâm al-Albânî fî Sayyid Quthb, saya katakan, bahwa seakan-akan Anda menulisnya dengan lisanku. Semenjak saat itu-lah saya meniadakan semua penukilanku dari Sayyid Quthb di dalam semua buku-bukuku.”

Siapa yang berkata seperti ini?! Lantas apakah layak kita mengatakan kepadanya, “Anda pendusta!! Anda hanya mengada-ada dan mengatakan hal ini karena pura-pura (taqiyah) dan main-main saja. Kami tidak mau menerima taubat Anda, kembalilah Anda kepada kesesatan Anda yang sebelumnya!” Ataukah selayaknya kita mengatakan kepadanya, “Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan”, lalu kita memegang tangannya dan mendekatinya, dan moga-moga hal ini dapat menjadi pembuka (kebaikan), tidakkah ini adalah lebih utama.

Kemudian, selepas kepergianku, datang sebagian rekan (menginformasikan) bahwa ada sejumlah orang rendahan yang mengobarkan kekacauan dan melakukan perbincangan yang panjang mengenai kunjunganku ini, mereka membangun beberapa hal di atasnya (untuk menvonis) tanpa adanya nasehat dan tanpa melakukan pembicaraan –terhadap salah satu fihak dan tentang vonisnya-. Tatkala datang sebagian rekan dari golongan orang yang mengobarkan (fitnah) dunia tanpa bukti, tanpa ilmu, tanpa argumentasi yang nyata, tanpa nasehat dan tanpa ada sedikitpun cara kritik (yang ilmiah), maka kami pun menghubungi Muhammad Hassân pada pagi hari, namun tidak diangkat. Ketika sore hari kami dapat menghubunginya, kami bertanya kepada beliau yang singkatnya seperti ini : “Dinukil dari Anda ucapan-ucapan tertentu yang sebagian manusia menjadikannya sebagai bukti untuk menvonis Anda bid’ah, kami bermaksud mendengar jawaban Anda tentang hal ini. Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?” Syaikh Masyhur lah yang menanyakan ini seakan-akan beliau sedang menginvestigasi.

“Apa sikap Anda tentang pengkafiran terhadap penguasa?”

Dia (Syaikh Muhammad Hassan) menjawab : “Pengkafiran terhadap penguasa termasuk perbuatan khowârij, hal ini tidak boleh (hukumnya). Kami menganggap penguasa sebagai ulil amri dan kami menasehati mereka (dengan cara baik). Kami memohon kepada Alloh untuk memberikan hidayah-Nya kepada kami, Anda dan mereka (para penguasa), dan mendoakan mereka (dengan kebaikan).”

“Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Sayyid Quthb bukanlah termasuk ulama. Beliau memiliki aqidah yang menyimpang, dan tidak boleh bagi penuntut ilmu menekuni buku-buku beliau.”

Apakah kita menginginkan lebih dari ini?

Beliau (Syaikh Muhammad Hassan) memiliki ucapan (yang memuji) Usâmah bin Lâdin pada 10 tahun yang lalu. Mereka (para penfitnah) itu senantiasa mengambil ucapannya ini sampai sekarang (untuk mendiskreditkan Syaikh Syaikh Muhammad Hassan). Sepuluh atau delapan tahun yang lalu (memang dia memuji Syaikh Muhammad Hassan). (Namun sekarang) dia berkata :

“Saya tidak mendukung pemikiran Usâmah bin Lâdin maupun al-Qaeda. Cukuplah apa yang mereka lakukan itu. Aktivitas mereka ini tidak memiliki dalil atau sunnah!”

“Apa pendapat Anda tentang aktivitas bom bunuh diri?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Aktivitas bom bunuh diri yang berlangsung di negeri kaum muslimin termasuk kerusakan. Tidak boleh dan tidak sepatutnya (hal ini dilakukan), sebab hal ini termasuk membunuh diri sendiri.”

Apakah Anda menginginkan lebih dari ini?!!

Mereka (anehnya) mengatakan bahwa taubatnya ini tidak benar dan hanya main-main saja.

Wahai saudaraku, tidaklah (dikatakan) beriman salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai apa yang ada pada saudaranya sebagaimana ia mencintai apa yang ada pada dirinya sendiri.

Apabila Anda berada di posisinya, apakah Anda akan mengatakan lebih banyak dari hal ini?

Wahai saudara-saudaraku, seorang pria yang berada di tempatnya, yang ditunggu-tunggu oleh orang yang mencintai dan membencinya, dari kalangan khusus dan masyarakat umum.

Kita saat ini berada di majelis hanya berlima. Kita terkadang berbicara dengan bahasa yang simple (sederhana), tentu saja ucapan kita ini lebih banyak dijaga dan lebih berhati-hati apabila kita di majelis dengan lima puluh orang.

Apabila (kita) sedang direkam, atau berada di Masjid, maka ucapan perlu lebih dijaga lagi. Apalagi jika di program televisi yang disaksikan oleh jutaan orang, baik orang yang mencintai maupun yang membenci, yang memusuhi maupun yang menyokong, orang yang menunggu-nunggu dan mencatat. Tidakkah jika pada saat itu saya tidak berbicara dengan teratur dan sistematis, bisa jadi ucapanku difahami (secara salah), diriku ditentang dan saya dilarang dari kebaikan ini.

Jadi, (setiap sesuatu) ada fasenya. Saya pernah mengetahui ucapan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn yang mengisyaratkan hal yang serupa dengan perkataan ini : “Bahwa manusia itu ada fasenya. Tidak boleh kita berinteraksi dengan manusia hanya menggunakan satu fase saja.”

Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di zaman beliau yang mulia pernah bersabda :

“لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه “

“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada ahli kitab. Apabila kalian melihat mereka di jalan, maka desaklah mereka sampai menyingkir ke pinggir.”

Siapakah diantara kita yang bisa menerapkan hadits ini saat ini?!! Sama saja baik di negeri Barat maupun Timur!! Bahkan di negeri dua tanah suci yang mulia.

Jawabnya adalah tidak ada (yang bisa). Apa sebabnya?? Kami katakan, (hal ini disebabkan) perbedaan fase.

Saya katakan : apakah perbedaan fase hanya berlaku untuk hal itu saja? Ataukah juga berlaku untuk hal itu dan selainnya, baik berupa ucapan maupun perbuatan?!

Jadi, wajib bagi kita memperhatikan semua hal ini. Adapun menjadikan semua manusia itu seakan-akan mereka ini adalah alat salin, maka ini termasuk kezhaliman. Atau menjadikan dakwah salafiyah seakan-akan organisasi militer, kerjakan! Jangan kerjakan! Maka ini adalah penyelewengan dan perobahan.

Jadi, buah dari majelis tersebut adalah kebaikan yang banyak, dan beliau banyak kembali (bertaubat) kepada kebenaran. Sembari kami tetap memohon supaya Alloh menambah lebih. Akan tetapi, kami berkeinginan untuk menjadi penolong bagi saudara-saudara kami dari syaithan, bukannya malah kami menjadi penolong bagi syaithan terhadap saudara-saudara kami.

Dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelelapan menuju kepada cahaya.

Sumber : http://almenhaj.net

التجريح والتعديل والتبديع
…والشيخ محمد حسان

أولا: معرفتنا بالشيخ محمد حسان من عشر سنوات -ليست قريبة- ومناصحتنا له قبل أن يناصحه غيرنا، أنا ناصحت محمد حسان سنة 2000 حتى غضب مني ، وكنا على إفطار وخرج مغاضباً من افطاره ، ولكن هذا لم يمنعنا من استمرار الاخوة والنصيحة ولم يمنعنا من استمرار التناصح ؛والتواصي بالحق والتواصي بالصبر .

محمد حسان قبل عشر سنوات - شئنا أم أبينا - ليس محمد حسان اليوم ، وقد فتحت الفضائيات وله جهود في نشر العقيدة والدعوة وله تأثير واضح في كل البلاد الاسلامية على الاقل في باب هداية عامة الناس ، وكما قلنا الدعوة السلفية ليس فقط دعوة تحذير من سيد قطب ، وإن كنا نحذر من سيد قطب ، وليس الدعوة السلفية هي دعوة التحذير من ابن لادن فقط وإن كنا نحذر من ابن لادن ، وليست التحذير من التكفير فقط ،وإن كنا نخذر من التكفير . الدعوة السلفية دعوة اخراج الناس من الظلمات إلى النور، وأهم ذلك العقيدة ، عندما يقول شيخ الاسلام ابن تيمية :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

معناه ماذا ؟ أن دعوتنا دعوة عقيدة ، فإن كانت عنده عقيدة صحيحة فهذا الأصل ، …..

محمد حسان -الآن- وقد فتحت له الفضائيات ورزقه الله نشاطاً ، ونرى … دعوته بالعقيدة وربط الناس بالكتاب والسنة ، والنقل عن العلماء ؛ كابن باز وابن عثيمين والالباني؛ وتعظيمهم ، أيهما أولى بدعوتنا أن نآزره وأن نناصحه وأن نقربه ، أم أن نكسره وان نهزمه وأن نبدعه وان نضلله ؟! ، وإذا تاب أن نقول له توبتك مرفوضة ! وإذا أقبل نقول له أدبر ! هل هذا من المصلحة الشرعية في شيء؟!

فمحمد حسان لما جاء في هذه المرة ، جلست معه - وكان موجوداً معنا أخونا الدكتور محمد موسى نصر وأخونا الدكتور باسم الجوابرة - ونصحته عدة نصائح ، أهمها موقفه من سيد قطب . فقال لي بالحرف الواحد : « لما قرات كتابك حق كلمة الامام الالباني في سيد قطب» ، قلت :« كأنك تكتب على لساني ، فمنذ ذلك الوقت نفيت كل نقولي عن سيد قطب في أي كتاب من الكتب » .

فمن قال هذا ، أنقول له انت كذاب ؟؟!! وتفتري وتقول هذا تقية وتلاعباً ولا يجوز ان نقبل منك التوبة وارجع إلى ضلالك القديم .

أم نقول له جزاك الله خيراً ونأخذ بيده ونقربه لعل هذا يكون فاتحة لما هو أولى .

ثم بعد أن سافرت جاء بعض الاخوة وقد أثار بعض الهمج فوضى وكلاما طويلا عن هذه الزيارة وبنى عليها أموراً دون أن ينصح، ودون أن يتكلم -أنت الخصم والحكم- فلما جاء بعض الاخوة من طرف هذا الانسان الذي أثار الدنيا بدون بينة ودون علم ودون بصيرة ودون نصيحة ودون أدنى وجه من وجوه النقد ، اتصلنا بمحمد حسان -في الصباح - فلم يرد، وإذ به يتصل بالمساء قلنا له بعبارة قصيرة : ينقل عنك أقوال معينة جعلت بعض الناس يبدعونك ، فنحن نريد ان نسمع جوابك.

فما موقفك من سيد قطب - الشيخ مشهور كان يسأله كأنه محقق-

ما موقفكم من تكفير الحكام ؟

قال: تكفير الحكام فعل الخوارج ولا يجوز ونحن نعتبرهم أولياء أمور ونناصحهم ونسأل الله لنا ولكم ولهم الهداية والدعاء لهم.

ما موقفكم من سيد قطب ؟

سيد قطب ليس من أهل العلم وله عقائد ضالة ولا يجوز لطلبة العلم أن يقتنوا كتبه

ماذا نريد أكثر من هذا ؟

له كلمة باسامة بن لادن قبل عشر سنوات وما زالوا يؤاخذنه بها للآن .

قبل عشر سنوات أو ثمان سنوات

قال : أنا لا أؤيد أفكار أسامة بن لادن ولا القاعدة ، ويكفي هؤلاء أنهم فعلوا وفعلوا ، وأفعالهم بلا دليل أو سنة

ما رأيك بالعمليات الانتحارية ؟؟

العمليات الانتحارية التي تجري في بلاد المسلمين فيها من المفاسد ولا يجوز ولا ينبغي وهذه قتل للنفس .

ماذا تريد أكثر من ذلك ؟؟!!

قالوا هذه التوبة غير صحيحة توبة يتلاعب بها

يا اخي لا يؤمن احدكم حتى يحب لاخيه ما يحب لنفسه

لو كنت مكانه ماذا تقول اكثر من ذلك ؟

يا اخواني : رجل في موضعه يتربص به المحب والشانئ والخاص والعام.

فنحن الآن في المجلس خمسة ، قد نتكلم بسهولة ، فهل يكون كلامنا نفس الكلام ام متحفظ أكثر فيما إذا كان المجلس خمسين .

وإذا كان في تسجيل ، أو إذا كان في مسجد سيكون بتحفظ أكثر و أكثر ، وإذا كان في فضائية يحضرها الملايين من المحبين والمبغضين والشانئيين والمؤيديين والمتربصين والرسميين ألا يكون هنالك عبارة أعرف اذا تكلمت بها على نسق قد تفهم عني وقد يؤلب علي وقد امنع من هذا الخير

إذن هنالك ظروف ، وانا رأين كلمة للشيخ ابن عثيمين فيها الاشارة الى مثل هذا القول :أن الناس لهم ظروف ، فلا يجوز ان تعامل الناس على ظرف واحد .

فالرسول صلى الله عليه وسلم في زمانه الشريف كان يقول : “لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه ” من منا يستطيع أن يطبق هذا الحديث اليوم ؟!!سواء في بلاد الغرب او في بلاد الشرق !!حتى في بلاد الحرمين الشريفين .

الجواب : لا

فما السبب ؟؟

نقول اختلاف الظروف

أقول : أأختلاف الظروف في هذه فقط ؟ ام فيها وفي غيرها من القول أو الفعل !؟

إذن يجب ان نراعي هذه الأمور ، أما ان نأخذ الناس كلهم كأنهم آلة ناسخة هذا ظلم ان نأخذ الدعوة السلفية كانها مؤسسة عسكرية .افعل ولا تفعل هذا تحريف وتغيير

إذن ما حصل في الجلسة هو خير كثير وتراجع إلى كثير من الحق واملنا بالله بالمزيد لكن نريد ان نكون اعوانا لاخواننا على الشيطان لا نريد ان نكون اعوانا للشيطان على اخواننا

والدعوة السلفية هي دعوة اخراج الناس من الظلمات الى النور

HUKUM GAMBAR

Syaikh ‘Abdullâh al-‘Ubailân

Syaikh ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân hafizhahullâhu ditanya tentang hukum gambar, maka beliau hafizhahullâhu menjawab :

Masalah ini ada perinciannya. Para ulama bersepakat akan keharaman gambar (yang dibuat) oleh tangan, sebagaimana mereka juga bersepakat akan haramnya gambar-gambar yang berfisik (jism) dan patung-patung. Inilah yang disepakati oleh para ulama (keharamannya) dan banyak nash-nash yang secara tegas menunjukkan (akan keharaman) gambar-gambar yang telah ada semenjak zaman nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Adapun gambar-gambar yang ada di zaman ini, maka terbagi menjadi dua : yaitu gambar fotografi dan gambar video. Adapun yang pertama (yaitu fotografi) maka para ulama ahlus sunnah bersepakat akan haramnya menggantungkan gambar-gambar foto dan hukumnya sama dengan hukum gambar yang dihasilkan dari gambar tangan yang digantung. Sebab, keserupaan hasil dari gambar yang dibuat oleh tangan sama dengan gambar yang dihasilkan oleh kamera.

Senin, 06 April 2009

Shalat tanpa Penutup Kepala

Sholat bukanlah permainan, tapi ia adalah tanda ketundukan, keseriusan, ketawadhuan, dan kerendahan diri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Seyogyanya seorang hamba saat ia menghadap, ia mengenakan pakaian yang layak digunakan; jangan asal-asalan dalam melaksanakan sholat !! Pilihlah pakaian yang layak, sebab sebagian orang ada yang tidak memperhatikan pakaian dan kondisi dirinya, seperti ia masuk ke dalam sholat, tanpa mengenakan penutup kepala, semisal surban, songkok, dan lainnya. Seakan-akan ia adalah seorang pekerja kuli yang mengenakan pakaian seadanya, padahal ia menghadap Allah Robbul Alamin.

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Hai anak Adam, pakailah perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf: 31).

Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga (dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta (menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang paling utama adalah pakaian putih". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/281)]

Diantara perhiasan seorang mukmin adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (surban). Kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah (surban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau songkok. Adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka ini adalah kebiasaan orang di luar Islam.

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ

"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1359), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4077), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1104 & 3584)]

Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

كَانَ الْقَوْمُ يَسْجُدُوْنَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْقَلَنْسُوَةِ وَيَدَاهُ فِيْ كَمِّهِ

"Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) secara mu’allaq dengan shighoh jazm, Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]

Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

رَأَيْتُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَلَنْسُوَةً بَيْضَاءَ مِصُرِيَّةً

"Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)]

Inilah beberapa hadits dan atsar yang menunjukkan bahwa para salaf (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in), dan generasi setelahnya memiliki akhlaq, dan kebiasaan, yaitu menutup kepala baik di luar sholat, apalagi dalam sholat. Kebiasaan dan sunnah ini telah ditinggalkan oleh generasi Islam, hanya karena alasan malu, dan tidak sesuai zaman –menurut sangkaannya- !! Terlebih lagi dengan munculnya berbagai macam model, dan gaya rambut yang terkenal, seperti model Duran-Duran, Bechkham, Mandarin, dan lainnya. Semua ini menyebabkan sunnah memakai penutup kepala mulai pudar, dan menghilang. Nas’alullahas salamah minal fitan.

Jadi, disunnahkan bagi setiap orang yang mau melaksanakan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai imamah (sorban), songkok, atau lainnya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah. Boleh melakukan shalat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki, sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita, bukan untuk kaum pria. Namun tentunya jangan dijadikan kebiasaan seorang masuk ke dalam sholat ataupun di luar sholat tanpa mengenakan surban atau songkok.

Seorang yang tidak memakai penutup kepala -tanpa udzur-, maka makruh hukumnya. Terlebih lagi ketika melakukan shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya secara berjamaah. [Lihat As-Sunan wal Mubtadaat (hal. 69) karya Asy-Syuqoiriy].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Menurut hematku, sesungguhnya shalat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." (Permulaan hadits di atas adalah:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ مَنْ تُزُيِّنَ لَهُ

"Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." [HR Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’aani Al-Atsar (1/221), Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi di dalamAs-Sunan Al-Kubra (2/236) dengan sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalamAl-Majma’ Az-Zawa’id (2/51). Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1369]

Syaikh Al-Albaniy berkata lagi, "Tidak memakai tutup kepala bukan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk ini ; namun sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengenyampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala.

Adapun argumentasi yang membolehkan membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang dari Jama’ah Anshorus Sunnah di Mesir adalah dengan mengkiaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah usaha kias terburuk yang mereka lakukan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan termasuk dalam manasik, yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.

Seandainya kias yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. [Lihat Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah (hal. 164-165)].

Tidak pernah disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak memakai tutup kepala ketika shalat kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai imamah ketika shalat -selain pada saat melakukan ihram-, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya. Yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti. [Lihat Ad-Dinul Khalish (3/214) dan Al-Ajwibah An-Nafi’ah an Al-Masa’il Al-Waqi’ah (hal.110)]

Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa shalat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, dan sholat tidak batal sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan mayoritas ulama lain. Namun jangan disangka kalau hukum sekedar makruh, oh boleh dengan bebas tidak pakai tutup kepala, tidak demikian !! Karena ini bukan kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat. [Lihat Al-Majmu’ (2/51).

Anggapan orang awam bahwa menjadi makmum di belakang imam yang tidak memakai tutup kepala adalah tidak boleh. Ini adalah tidak benar. Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan, sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan shalat, dan mengikuti semua sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 75 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/?p=301

ADA APA DENGAN SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

KENAPA HARUS MEMUSUHI SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

Transkrip Ceramah

Fadhîlatu asy-Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabî


Pertama : Kami telah mengenal Syaikh Muhammad Hassân semenjak 10 tahun yang lalu –ini bukan waktu yang singkat-. Kami telah menasehati beliau sebelum orang lain menasehatinya. Saya telah menasehati Muhammad Hassân pada tahun 2000 sampai-sampai ia menjadi murka kepadaku. Kami ketika itu sedang sarapan dan ia keluar meninggalkan sarapannya dalam keadaan marah. Akan tetapi hal ini tidak menghalangi kami untuk tetap terus menjalin persaudaraan (ukhuwwah) dan memberikan nasehat, dan tetap saling menasehati dan memberikan wasiat di dalam kebenaran dan kesabaran.

Muhammad Hassân 10 tahun yang lalu –baik kita kehendaki maupun tidak- bukanlah Muhammad Hassân yang sekarang ini. Program-program (dakwah) di televisi telah bermunculan dan beliau memiliki andil di dalam menyebarkan aqidah dan dakwah (salafiyah). Beliau memiliki pengaruh yang nyata pada seluruh negeri Islam, setidak-tidaknya di dalam memberikan hidayah (bayân wa irsyâd, bukan hidayah taufik, pen) terhadap manusia secara umum.

Sebagaimana telah kami utarakan, bahwa dakwah salafiyah itu bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Sayyid Quthb walaupun kami memperingatkan darinya. Dakwah salafiyah juga bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Ibnu Lâdin walaupun kami juga memperingatkan darinya. Bukan pula yang hanya memperingatkan dari aktivitas takfîr (pengkafiran) walaupun kami turut memperingatkan darinya. Namun, dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kepada cahaya. Dan yang terpenting adalah aqidah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

Banyaknya dosa namun tauhidnya lurus lebih baik daripada tauhidnya rusak dengan dosa yang sedikit.”

Apa artinya? Artinya adalah bahwa dakwah kita ini adalah dakwah aqidah. Apabila beliau memiliki aqidah yang lurus maka inilah yang pokok…

Muhammad Hassân saat ini, beliau banyak mengisi di program-program (dakwah) di televisi dan Alloh pun menganugerahkan kepadanya semangat. Kami melihat… bahwa dakwah beliau adalah dakwah aqidah dan mengikat manusia dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, mengutip ucapan para ulama seperti Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimîn dan al-Albânî dan memuliakan mereka. Manakah yang lebih utama (harus kita lakukan) di dalam dakwah kita, membantu, menasehati dan mendekatinya ataukah kita rusak, hancurkan (kehormatannya), dan menvonisnya bid’ah dan sesat?!

Yang manakala dia bertaubat (dari kesalahannya) kita malah berkata kepadanya “taubatmu tertolak”!

Manakala dia menghadap, kita malah berkata padanya dengan membelakanginya!

Apakah ini ada maslahat syar’i-nya walaupun hanya sedikit saja?!

Muhammad Hassan ketika datang untuk kesekian kalinya, kami duduk bersama beliau, dan ketika itu hadir bersama kami saudara DR. Muhammad Mûsâ Nashr dan saudara DR. Bâsim al-Jawâbirah. Kami pun memberikan beberapa nasehat kepada beliau (Syaikh Muhammad Hassan). Terutama tentang sikap beliau terhadap Sayyid Quthb. Lantas beliau berkata kepadaku secara tegas : “Ketika saya membaca buku Anda, Haqqu Kalimah al-Imâm al-Albânî fî Sayyid Quthb, saya katakan, bahwa seakan-akan Anda menulisnya dengan lisanku. Semenjak saat itu-lah saya meniadakan semua penukilanku dari Sayyid Quthb di dalam semua buku-bukuku.”

Siapa yang berkata seperti ini?! Lantas apakah layak kita mengatakan kepadanya, “Anda pendusta!! Anda hanya mengada-ada dan mengatakan hal ini karena pura-pura (taqiyah) dan main-main saja. Kami tidak mau menerima taubat Anda, kembalilah Anda kepada kesesatan Anda yang sebelumnya!” Ataukah selayaknya kita mengatakan kepadanya, “Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan”, lalu kita memegang tangannya dan mendekatinya, dan moga-moga hal ini dapat menjadi pembuka (kebaikan), tidakkah ini adalah lebih utama.

Kemudian, selepas kepergianku, datang sebagian rekan (menginformasikan) bahwa ada sejumlah orang rendahan yang mengobarkan kekacauan dan melakukan perbincangan yang panjang mengenai kunjunganku ini, mereka membangun beberapa hal di atasnya (untuk menvonis) tanpa adanya nasehat dan tanpa melakukan pembicaraan –terhadap salah satu fihak dan tentang vonisnya-. Tatkala datang sebagian rekan dari golongan orang yang mengobarkan (fitnah) dunia tanpa bukti, tanpa ilmu, tanpa argumentasi yang nyata, tanpa nasehat dan tanpa ada sedikitpun cara kritik (yang ilmiah), maka kami pun menghubungi Muhammad Hassân pada pagi hari, namun tidak diangkat. Ketika sore hari kami dapat menghubunginya, kami bertanya kepada beliau yang singkatnya seperti ini : “Dinukil dari Anda ucapan-ucapan tertentu yang sebagian manusia menjadikannya sebagai bukti untuk menvonis Anda bid’ah, kami bermaksud mendengar jawaban Anda tentang hal ini. Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?” Syaikh Masyhur lah yang menanyakan ini seakan-akan beliau sedang menginvestigasi.

“Apa sikap Anda tentang pengkafiran terhadap penguasa?”

Dia (Syaikh Muhammad Hassan) menjawab : “Pengkafiran terhadap penguasa termasuk perbuatan khowârij, hal ini tidak boleh (hukumnya). Kami menganggap penguasa sebagai ulil amri dan kami menasehati mereka (dengan cara baik). Kami memohon kepada Alloh untuk memberikan hidayah-Nya kepada kami, Anda dan mereka (para penguasa), dan mendoakan mereka (dengan kebaikan).”

“Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Sayyid Quthb bukanlah termasuk ulama. Beliau memiliki aqidah yang menyimpang, dan tidak boleh bagi penuntut ilmu menekuni buku-buku beliau.”

Apakah kita menginginkan lebih dari ini?

Beliau (Syaikh Muhammad Hassan) memiliki ucapan (yang memuji) Usâmah bin Lâdin pada 10 tahun yang lalu. Mereka (para penfitnah) itu senantiasa mengambil ucapannya ini sampai sekarang (untuk mendiskreditkan Syaikh Syaikh Muhammad Hassan). Sepuluh atau delapan tahun yang lalu (memang dia memuji Syaikh Muhammad Hassan). (Namun sekarang) dia berkata :

“Saya tidak mendukung pemikiran Usâmah bin Lâdin maupun al-Qaeda. Cukuplah apa yang mereka lakukan itu. Aktivitas mereka ini tidak memiliki dalil atau sunnah!”

“Apa pendapat Anda tentang aktivitas bom bunuh diri?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Aktivitas bom bunuh diri yang berlangsung di negeri kaum muslimin termasuk kerusakan. Tidak boleh dan tidak sepatutnya (hal ini dilakukan), sebab hal ini termasuk membunuh diri sendiri.”

Apakah Anda menginginkan lebih dari ini?!!

Mereka (anehnya) mengatakan bahwa taubatnya ini tidak benar dan hanya main-main saja.

Wahai saudaraku, tidaklah (dikatakan) beriman salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai apa yang ada pada saudaranya sebagaimana ia mencintai apa yang ada pada dirinya sendiri.

Apabila Anda berada di posisinya, apakah Anda akan mengatakan lebih banyak dari hal ini?

Wahai saudara-saudaraku, seorang pria yang berada di tempatnya, yang ditunggu-tunggu oleh orang yang mencintai dan membencinya, dari kalangan khusus dan masyarakat umum.

Kita saat ini berada di majelis hanya berlima. Kita terkadang berbicara dengan bahasa yang simple (sederhana), tentu saja ucapan kita ini lebih banyak dijaga dan lebih berhati-hati apabila kita di majelis dengan lima puluh orang.

Apabila (kita) sedang direkam, atau berada di Masjid, maka ucapan perlu lebih dijaga lagi. Apalagi jika di program televisi yang disaksikan oleh jutaan orang, baik orang yang mencintai maupun yang membenci, yang memusuhi maupun yang menyokong, orang yang menunggu-nunggu dan mencatat. Tidakkah jika pada saat itu saya tidak berbicara dengan teratur dan sistematis, bisa jadi ucapanku difahami (secara salah), diriku ditentang dan saya dilarang dari kebaikan ini.

Jadi, (setiap sesuatu) ada fasenya. Saya pernah mengetahui ucapan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn yang mengisyaratkan hal yang serupa dengan perkataan ini : “Bahwa manusia itu ada fasenya. Tidak boleh kita berinteraksi dengan manusia hanya menggunakan satu fase saja.”

Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di zaman beliau yang mulia pernah bersabda :

“لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه “

“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada ahli kitab. Apabila kalian melihat mereka di jalan, maka desaklah mereka sampai menyingkir ke pinggir.”

Siapakah diantara kita yang bisa menerapkan hadits ini saat ini?!! Sama saja baik di negeri Barat maupun Timur!! Bahkan di negeri dua tanah suci yang mulia.

Jawabnya adalah tidak ada (yang bisa). Apa sebabnya?? Kami katakan, (hal ini disebabkan) perbedaan fase.

Saya katakan : apakah perbedaan fase hanya berlaku untuk hal itu saja? Ataukah juga berlaku untuk hal itu dan selainnya, baik berupa ucapan maupun perbuatan?!

Jadi, wajib bagi kita memperhatikan semua hal ini. Adapun menjadikan semua manusia itu seakan-akan mereka ini adalah alat salin, maka ini termasuk kezhaliman. Atau menjadikan dakwah salafiyah seakan-akan organisasi militer, kerjakan! Jangan kerjakan! Maka ini adalah penyelewengan dan perobahan.

Jadi, buah dari majelis tersebut adalah kebaikan yang banyak, dan beliau banyak kembali (bertaubat) kepada kebenaran. Sembari kami tetap memohon supaya Alloh menambah lebih. Akan tetapi, kami berkeinginan untuk menjadi penolong bagi saudara-saudara kami dari syaithan, bukannya malah kami menjadi penolong bagi syaithan terhadap saudara-saudara kami.

Dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelelapan menuju kepada cahaya.

Sumber : http://almenhaj.net

التجريح والتعديل والتبديع
والشيخ محمد حسان

أولا: معرفتنا بالشيخ محمد حسان من عشر سنوات -ليست قريبة- ومناصحتنا له قبل أن يناصحه غيرنا، أنا ناصحت محمد حسان سنة 2000 حتى غضب مني ، وكنا على إفطار وخرج مغاضباً من افطاره ، ولكن هذا لم يمنعنا من استمرار الاخوة والنصيحة ولم يمنعنا من استمرار التناصح ؛والتواصي بالحق والتواصي بالصبر .

محمد حسان قبل عشر سنوات - شئنا أم أبينا - ليس محمد حسان اليوم ، وقد فتحت الفضائيات وله جهود في نشر العقيدة والدعوة وله تأثير واضح في كل البلاد الاسلامية على الاقل في باب هداية عامة الناس ، وكما قلنا الدعوة السلفية ليس فقط دعوة تحذير من سيد قطب ، وإن كنا نحذر من سيد قطب ، وليس الدعوة السلفية هي دعوة التحذير من ابن لادن فقط وإن كنا نحذر من ابن لادن ، وليست التحذير من التكفير فقط ،وإن كنا نخذر من التكفير . الدعوة السلفية دعوة اخراج الناس من الظلمات إلى النور، وأهم ذلك العقيدة ، عندما يقول شيخ الاسلام ابن تيمية :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

معناه ماذا ؟ أن دعوتنا دعوة عقيدة ، فإن كانت عنده عقيدة صحيحة فهذا الأصل ، …..

محمد حسان -الآن- وقد فتحت له الفضائيات ورزقه الله نشاطاً ، ونرى … دعوته بالعقيدة وربط الناس بالكتاب والسنة ، والنقل عن العلماء ؛ كابن باز وابن عثيمين والالباني؛ وتعظيمهم ، أيهما أولى بدعوتنا أن نآزره وأن نناصحه وأن نقربه ، أم أن نكسره وان نهزمه وأن نبدعه وان نضلله ؟! ، وإذا تاب أن نقول له توبتك مرفوضة ! وإذا أقبل نقول له أدبر ! هل هذا من المصلحة الشرعية في شيء؟!

فمحمد حسان لما جاء في هذه المرة ، جلست معه - وكان موجوداً معنا أخونا الدكتور محمد موسى نصر وأخونا الدكتور باسم الجوابرة - ونصحته عدة نصائح ، أهمها موقفه من سيد قطب . فقال لي بالحرف الواحد : « لما قرات كتابك حق كلمة الامام الالباني في سيد قطب» ، قلت :« كأنك تكتب على لساني ، فمنذ ذلك الوقت نفيت كل نقولي عن سيد قطب في أي كتاب من الكتب » .

فمن قال هذا ، أنقول له انت كذاب ؟؟!! وتفتري وتقول هذا تقية وتلاعباً ولا يجوز ان نقبل منك التوبة وارجع إلى ضلالك القديم .

أم نقول له جزاك الله خيراً ونأخذ بيده ونقربه لعل هذا يكون فاتحة لما هو أولى .

ثم بعد أن سافرت جاء بعض الاخوة وقد أثار بعض الهمج فوضى وكلاما طويلا عن هذه الزيارة وبنى عليها أموراً دون أن ينصح، ودون أن يتكلم -أنت الخصم والحكم- فلما جاء بعض الاخوة من طرف هذا الانسان الذي أثار الدنيا بدون بينة ودون علم ودون بصيرة ودون نصيحة ودون أدنى وجه من وجوه النقد ، اتصلنا بمحمد حسان -في الصباح - فلم يرد، وإذ به يتصل بالمساء قلنا له بعبارة قصيرة : ينقل عنك أقوال معينة جعلت بعض الناس يبدعونك ، فنحن نريد ان نسمع جوابك.

فما موقفك من سيد قطب - الشيخ مشهور كان يسأله كأنه محقق-

ما موقفكم من تكفير الحكام ؟

قال: تكفير الحكام فعل الخوارج ولا يجوز ونحن نعتبرهم أولياء أمور ونناصحهم ونسأل الله لنا ولكم ولهم الهداية والدعاء لهم.

ما موقفكم من سيد قطب ؟

سيد قطب ليس من أهل العلم وله عقائد ضالة ولا يجوز لطلبة العلم أن يقتنوا كتبه

ماذا نريد أكثر من هذا ؟

له كلمة باسامة بن لادن قبل عشر سنوات وما زالوا يؤاخذنه بها للآن .

قبل عشر سنوات أو ثمان سنوات

قال : أنا لا أؤيد أفكار أسامة بن لادن ولا القاعدة ، ويكفي هؤلاء أنهم فعلوا وفعلوا ، وأفعالهم بلا دليل أو سنة

ما رأيك بالعمليات الانتحارية ؟؟

العمليات الانتحارية التي تجري في بلاد المسلمين فيها من المفاسد ولا يجوز ولا ينبغي وهذه قتل للنفس .

ماذا تريد أكثر من ذلك ؟؟!!

قالوا هذه التوبة غير صحيحة توبة يتلاعب بها

يا اخي لا يؤمن احدكم حتى يحب لاخيه ما يحب لنفسه

لو كنت مكانه ماذا تقول اكثر من ذلك ؟

يا اخواني : رجل في موضعه يتربص به المحب والشانئ والخاص والعام.

فنحن الآن في المجلس خمسة ، قد نتكلم بسهولة ، فهل يكون كلامنا نفس الكلام ام متحفظ أكثر فيما إذا كان المجلس خمسين .

وإذا كان في تسجيل ، أو إذا كان في مسجد سيكون بتحفظ أكثر و أكثر ، وإذا كان في فضائية يحضرها الملايين من المحبين والمبغضين والشانئيين والمؤيديين والمتربصين والرسميين ألا يكون هنالك عبارة أعرف اذا تكلمت بها على نسق قد تفهم عني وقد يؤلب علي وقد امنع من هذا الخير

إذن هنالك ظروف ، وانا رأين كلمة للشيخ ابن عثيمين فيها الاشارة الى مثل هذا القول :أن الناس لهم ظروف ، فلا يجوز ان تعامل الناس على ظرف واحد .

فالرسول صلى الله عليه وسلم في زمانه الشريف كان يقول : “لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه ” من منا يستطيع أن يطبق هذا الحديث اليوم ؟!!سواء في بلاد الغرب او في بلاد الشرق !!حتى في بلاد الحرمين الشريفين .

الجواب : لا

فما السبب ؟؟

نقول اختلاف الظروف

أقول : أأختلاف الظروف في هذه فقط ؟ ام فيها وفي غيرها من القول أو الفعل !؟

إذن يجب ان نراعي هذه الأمور ، أما ان نأخذ الناس كلهم كأنهم آلة ناسخة هذا ظلم ان نأخذ الدعوة السلفية كانها مؤسسة عسكرية .افعل ولا تفعل هذا تحريف وتغيير

إذن ما حصل في الجلسة هو خير كثير وتراجع إلى كثير من الحق واملنا بالله بالمزيد لكن نريد ان نكون اعوانا لاخواننا على الشيطان لا نريد ان نكون اعوانا للشيطان على اخواننا

والدعوة السلفية هي دعوة اخراج الناس من الظلمات الى النور

PANDANGAN AL-MUHADDITS ‘ABDULLÂH AL-‘UBAILÂN TENTANG JUM’IYAH IHYÂ` AT-TURÔTS KUWAIT

Fadhîlatu asy-Syaikh, Assalâmu’alaykum Warohmatullâhi Wabarokâtuh

Alloh tahu bahwa saya benar-benar mencintai Anda. Akan tetapi, di sela-sela kunjunganku hari ini di situs Anda, ada sebuah rekaman yang berjudul “ad-Da’wah al-Islâmiyah Wâqi’ wa Thumûhât” (Dakwah Islam antara Realita dan Angan-Angan). Ketika mendengarkan awal kajian ini, saya dapati bahwa ceramah ini merupakan jawaban undangan dari Jum’iyah Ihyâ` at-Turôts, padahal sejauh pengetahuan saya, bahwa jum’iyah ini adalah jum’iyah hizbiyah (lembaga sektarianisme/partisan) yang menyokong kaum hizbiyyun (partisan). Saya mengharap syaikh yang mulia sudi menjelaskan hal yang telah membuatku menjadi bingung ini. Sebab, saya dengar bukan hanya seorang ulama salafiyin saja yang telah menvonis bid’ah jum’iyah ini, seperti : Syaikh Rabî’ al-Madkhalî, Syaikh Muqbil al-Wâdi’î, Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî dan Syaikh Falâh Ismâ’îl Mandakâr dan masih banyak lagi selain mereka.

Wassalâmu’alaikum.

Jawaban :

Perkara ini adalah masalah ijtihâdîyah yang diperselisihkan para ulama. Masyaikh kibâr (senior) seperti Samâhatu asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd, Syaikh Shâlih al-Fauzân dan selain mereka, masih menganggap jum’iyah ini sebagai jum’iyah salafiyah. Bahkan yang mengarahkanku untuk memberikan ceramah dan pelajaran (di kegiatan) yang diadakan oleh jum’iyah di Kuwait ini adalah Samâhatu asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz ketika beliau menjabat sebagai penanggung jawab urusan dakwah di Kerajaan, dan saya saat itu adalah mudîr (direktur) Markaz ad-Da’wah (Islamic Center) di Ha`il. Saya telah pergi (memberikan ceramah) berulang kali dan saya tidak melihat melainkan hanya kebaikan.

Adapun adanya sebagian du’at yang bekerjasama dengan jum’iyah ini dan keadaan mereka diperbincangkan, maka hal ini juga ditemukan di (negeri) kita ini, adanya orang-orang yang berafiliasi dengan sejumlah institusi ilmiah seperti universitas atau perhimpunan dakwah, sedangkan mereka tidak berada di atas metodologi para ulama senior. Kendati demikian, kita tidak mengatakan bahwa Kerajaan (Arab Saudi) mengadopsi manhaj Ikhwânî dan keluar dari metodologi salafiyah.

Jadi, hal ini termasuk perkara ijtihadiyah (debatable) yang hanya diketahui oleh orang-orang yang mendalami dan sudah berpengalaman dengan dakwah, serta mengetahui metodologi syariah di dalam menimbang mashlahat dan mafsadat. Bukanlah pemahaman (fiqih) itu, Anda hanya mengetahui keburukan dan kebaikan saja, namun pemahaman itu adalah Anda dapat mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan.

Sampai detik ini, saya belum pernah tahu bahwa Jum’iyah Ihyâ at-Turôts mengadopsi atau menyeru kepada selain dakwah salafiyah di dalam cetakan (buku-bukunya) atau publikasi-publikasinya. Kemudian, hendaklah difahami bahwa Jum’iyah Ihyâ at-Turôts ini tidaklah beraktivitas secara independen, namun ia termasuk jum’iyah al-khairiyah (lembaga sosial) di negara Kuwait. Hal ini perlu untuk direnungkan. Aktivitas dan upayanya di dalam membendung kristenisasi dan menyebarkan tauhid dan sunnah di puluhan negeri di Asia, Afrika dan selainnya, tidak ada yang mengingkarinya kecuali oleh orang-orang yang menentang.

Semoga Alloh memberikan taufik-Nya kepada kita semua kepada yang dicintai dan diridhai-Nya.

Sumber : http://www.obailan.net/news.php?action=show&id=370

سؤال عن جمعية احياء التراث وجوابه للشيخ العبيلان حفظه الله

فضيلة الشيخ السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
يعلم الله إني أحبكم في الله ولكن ومن خلال زيارتي اليوم لموقعكم وجد على ماده وهي بعنوان (الدعوة الإسلامية واقع وطموحات) ومن خلال استماعي لبداية هذه المحاضرة وجدت انها تلبية لدعوه جاءتكم من جمعية إحياء التراث وقد عرفة هذه الجمعية أنها حزبيه ومناصره للحزبيين فأرجو من فضيلتكم بياهذا الأمر الذي التبس على لأني سمعت من غير واحد من العلماء السلفيين أنهم بدعوا هذه الجمعيه ومن المشايخ الذين بدعوها: الشيخ ربيع المدخلي وكذالك الشيخ مقبل الوادعي وكذالك الشيخ عبيد الجابر وكذالك الشيخ فلاح إسماعيل مندكار وغيرهم كثير.
والسلام عليكم

الجواب
هذه من الأمور الإجتهادية التي يختلف فيها اهل العلم فالمشايخه الكبار مثل سماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز والشيخ محمد العثيمين والشيخ عبدالمحسن العباد والشيخ صالح الفوزان وغيرهم يرونها جمعية سلفية والذي وجهني لإلقاء المحاضرات والدروس التي تنظمها الجمعية في الكويت هو سماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز حين كان هو المسؤل عن الدعوة في المملكة وكنت حينها مديرا لمركز الدعوة في حائل وذهبت عدة مرات ولم أرى إلا الخير وأما وجود بعض الدعاة المتعاونين مع الجمعية وعليهم ملاحظات فهذا يوجد عندنا ايضا من ينتسبون الى بعض الجهات العلمية كالجامعات أو الجمعيات الدعوية وهم ليسوا على طريقة كبار العلماء ومع ذلك لم نقل ان الدولة تبنت المنهج الإخواني وخرجت عن الطريقة السلفية ، فهذه من الأمور الإجتهادية التي لايدركها إلا من خاض غمار الدعوة وعرف طريقة الشريعة في المصالح والمفاسد ، فليس الفقه أن تعلم الشر والخير ولكن أن تعلم خير الخيرين وشر الشرين ، وإلى ساعتي هذه لاأعلم أن جمعية إحياء التراث تبنت أودعت من خلال مطبوعاتها ونشراتها غير الدعوة السلفية ، ثم ينبغي أن يعلم أن جمعية إحياء التراث لاتعمل مستقلة بل هي ضمن الجمعيات الخيرية في دولة الكويت ،وهذا أمر ينبغي مراعاته ، ونشاطها وجهودها في مكافحة التنصير ونشر التوحيدو السنة في عشرات الدول في اسيا وافريقيا وغيرها لاينكرة إلا جاحد وفق الله الجميع لما يحبه ويرضاه

PANDANGAN AL-MUHADDITS ‘ABDULLÂH AL-‘UBAILÂN TENTANG JUM’IYAH IHYÂ` AT-TURÔTS KUWAIT


Fadhîlatu asy-Syaikh, Assalâmu’alaykum Warohmatullâhi Wabarokâtuh Alloh tahu bahwa saya benar-benar mencintai Anda. Akan tetapi, di sela-sela kunjunganku hari ini di situs Anda, ada sebuah rekaman yang berjudul “ad-Da’wah al-Islâmiyah Wâqi’ wa Thumûhât” (Dakwah Islam antara Realita dan Angan-Angan). Ketika mendengarkan awal kajian ini, saya dapati bahwa ceramah ini merupakan jawaban undangan dari Jum’iyah Ihyâ` at-Turôts, padahal sejauh pengetahuan saya, bahwa jum’iyah ini adalah jum’iyah hizbiyah (lembaga sektarianisme/partisan) yang menyokong kaum hizbiyyun (partisan). Saya mengharap syaikh yang mulia sudi menjelaskan hal yang telah membuatku menjadi bingung ini. Sebab, saya dengar bukan hanya seorang ulama salafiyin saja yang telah menvonis bid’ah jum’iyah ini, seperti : Syaikh Rabî’ al-Madkhalî, Syaikh Muqbil al-Wâdi’î, Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî dan Syaikh Falâh Ismâ’îl Mandakâr dan masih banyak lagi selain mereka. Wassalâmu’alaikum. Jawaban : Perkara ini adalah masalah ijtihâdîyah yang diperselisihkan para ulama. Masyaikh kibâr (senior) seperti Samâhatu asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd, Syaikh Shâlih al-Fauzân dan selain mereka, masih menganggap jum’iyah ini sebagai jum’iyah salafiyah. Bahkan yang mengarahkanku untuk memberikan ceramah dan pelajaran (di kegiatan) yang diadakan oleh jum’iyah di Kuwait ini adalah Samâhatu asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz ketika beliau menjabat sebagai penanggung jawab urusan dakwah di Kerajaan, dan saya saat itu adalah mudîr (direktur) Markaz ad-Da’wah (Islamic Center) di Ha`il. Saya telah pergi (memberikan ceramah) berulang kali dan saya tidak melihat melainkan hanya kebaikan. Adapun adanya sebagian du’at yang bekerjasama dengan jum’iyah ini dan keadaan mereka diperbincangkan, maka hal ini juga ditemukan di (negeri) kita ini, adanya orang-orang yang berafiliasi dengan sejumlah institusi ilmiah seperti universitas atau perhimpunan dakwah, sedangkan mereka tidak berada di atas metodologi para ulama senior. Kendati demikian, kita tidak mengatakan bahwa Kerajaan (Arab Saudi) mengadopsi manhaj Ikhwânî dan keluar dari metodologi salafiyah. Jadi, hal ini termasuk perkara ijtihadiyah (debatable) yang hanya diketahui oleh orang-orang yang mendalami dan sudah berpengalaman dengan dakwah, serta mengetahui metodologi syariah di dalam menimbang mashlahat dan mafsadat. Bukanlah pemahaman (fiqih) itu, Anda hanya mengetahui keburukan dan kebaikan saja, namun pemahaman itu adalah Anda dapat mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan. Sampai detik ini, saya belum pernah tahu bahwa Jum’iyah Ihyâ at-Turôts mengadopsi atau menyeru kepada selain dakwah salafiyah di dalam cetakan (buku-bukunya) atau publikasi-publikasinya. Kemudian, hendaklah difahami bahwa Jum’iyah Ihyâ at-Turôts ini tidaklah beraktivitas secara independen, namun ia termasuk jum’iyah al-khairiyah (lembaga sosial) di negara Kuwait. Hal ini perlu untuk direnungkan. Aktivitas dan upayanya di dalam membendung kristenisasi dan menyebarkan tauhid dan sunnah di puluhan negeri di Asia, Afrika dan selainnya, tidak ada yang mengingkarinya kecuali oleh orang-orang yang menentang. Semoga Alloh memberikan taufik-Nya kepada kita semua kepada yang dicintai dan diridhai-Nya. Sumber : http://www.obailan.net/news.php?action=show&id=370 سؤال عن جمعية احياء التراث وجوابه للشيخ العبيلان حفظه الله فضيلة الشيخ السلام عليكم ورحمة الله وبركاته يعلم الله إني أحبكم في الله ولكن ومن خلال زيارتي اليوم لموقعكم وجد على ماده وهي بعنوان (الدعوة الإسلامية واقع وطموحات) ومن خلال استماعي لبداية هذه المحاضرة وجدت انها تلبية لدعوه جاءتكم من جمعية إحياء التراث وقد عرفة هذه الجمعية أنها حزبيه ومناصره للحزبيين فأرجو من فضيلتكم بياهذا الأمر الذي التبس على لأني سمعت من غير واحد من العلماء السلفيين أنهم بدعوا هذه الجمعيه ومن المشايخ الذين بدعوها: الشيخ ربيع المدخلي وكذالك الشيخ مقبل الوادعي وكذالك الشيخ عبيد الجابر وكذالك الشيخ فلاح إسماعيل مندكار وغيرهم كثير. والسلام عليكم الجواب هذه من الأمور الإجتهادية التي يختلف فيها اهل العلم فالمشايخه الكبار مثل سماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز والشيخ محمد العثيمين والشيخ عبدالمحسن العباد والشيخ صالح الفوزان وغيرهم يرونها جمعية سلفية والذي وجهني لإلقاء المحاضرات والدروس التي تنظمها الجمعية في الكويت هو سماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز حين كان هو المسؤل عن الدعوة في المملكة وكنت حينها مديرا لمركز الدعوة في حائل وذهبت عدة مرات ولم أرى إلا الخير وأما وجود بعض الدعاة المتعاونين مع الجمعية وعليهم ملاحظات فهذا يوجد عندنا ايضا من ينتسبون الى بعض الجهات العلمية كالجامعات أو الجمعيات الدعوية وهم ليسوا على طريقة كبار العلماء ومع ذلك لم نقل ان الدولة تبنت المنهج الإخواني وخرجت عن الطريقة السلفية ، فهذه من الأمور الإجتهادية التي لايدركها إلا من خاض غمار الدعوة وعرف طريقة الشريعة في المصالح والمفاسد ، فليس الفقه أن تعلم الشر والخير ولكن أن تعلم خير الخيرين وشر الشرين ، وإلى ساعتي هذه لاأعلم أن جمعية إحياء التراث تبنت أودعت من خلال مطبوعاتها ونشراتها غير الدعوة السلفية ، ثم ينبغي أن يعلم أن جمعية إحياء التراث لاتعمل مستقلة بل هي ضمن الجمعيات الخيرية في دولة الكويت ،وهذا أمر ينبغي مراعاته ، ونشاطها وجهودها في مكافحة التنصير ونشر التوحيدو السنة في عشرات الدول في اسيا وافريقيا وغيرها لاينكرة إلا جاحد وفق الله الجميع لما يحبه ويرضاه