nontontv

Kamis, 10 Desember 2009

LARANGAN IMAM MALIK TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM AGAMA

Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais





[1]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush'ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata: "Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja. karena hal-hal di atas [1]

[2]. Imam Abu Nu'aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata: "Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari bid'ah-bid'ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga." [2]

[3]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata, "Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan bohong."[3]

[4]. Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya mende-ngar Imam Malik berkata: "Berdebat dalam agama itu aib (cacat)." Beliau juga berkata: "Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" [4]

[5]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Mahdi, katanya, saya masuk ke rumah Imam Malik, dan di situ ada seorang yang sedang ditanya oleh Imam Malik: "Barangkali kamu murid dari 'Amir bin 'Ubaid. Mudah-mudahan Allah melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid karena dialah yang membuat bid’ah Ilmu Kalam. Seandainya kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah membicarakannya, sebagaimana mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan syari’ah.”[5]

[6]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya mendengar Imam Malaik berkata: “Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik menjawab: “Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.” [6]

[7]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Syafi’i, katanya, Imam Malik bin Anas, apabila kedatangan orang yang dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau berkata: “Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara anda memilih ragu-ragu. Pergilah saja kepada orang-orang yang masih ragu-ragu, dan debatlah dia.”[7]

[8]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad al-Mishri al-Maliki, di mana ia berkata dalam bab al-Ijarat dalam kitab al-Khilaf, Imam Malik berkata: “Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dalam beragama hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut kalam, seperti kelompok Mu’tazilah dan sebagainya.”[8]

Dan Itulah sekilas tentang sikap Imam Malik bin Anas dan pendapat-pendapat beliau tentang masalah Tauhid, Sahabat, Imam, Ilmu Kalam dan Lain-lain


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1].Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415
[2]. Al-Hilyah, VI/325
[3]. Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B
[4]. Syaraf ASh-hab Al-Hadits, hal. 5
[5]. Dzan Al-Kalam, lembar 173-B
[6]. Ibid, lembar 173
[7]. Al-Hilyah, VI/324
[8]. Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 416-417
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni


Manhaj Salaf [1], merupakan satu-satunya metode pemahaman dan pengamalan agama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jaminan mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya diberikan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan). Dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat Radhiyallahu 'anhum) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [at-Taubah/9:100].

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan jaminan keridhaan-Nya bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu 'anhum, dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan). Artinya, yaitu mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan), ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi lainnya dalam beragama. Ringkasnya, mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu 'anhum dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama ini secara menyeluruh.

Tentang penafsiran ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, ialah orang-orang yang mengikuti jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat mereka yang terpuji, serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka secara diam-diam maupun terang-terangan”.[2]

MANHAJ SALAF: MANHAJ ILMU DAN AMAL
Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang terdapat pada manhaj salaf. Manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar, dan pengamalan yang baik. Seseorang yang benar-benar mengikuti manhaj ini, ia akan terbimbing dalam pemahaman agamanya, sehingga akan terhindar dari segala bentuk syubhat [3], sekaligus terbimbing dalam pengamalan ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala bentuk syahwat (hawa nafsu, Red.)[4]

Dengan keistimewaan ini pula, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi pensifatan terhadap petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firman-Nya:

"Kawanmu (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak sesat (dalam ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal)" [an-Najm/53:2]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala mensucikan petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari dua kerusakan. Yaitu: adh-dhalâl (kesesatan) [5], dan al-ghawâyah/al-ghayy (penyimpangan) [6]. Ini berarti, tedapat dua bimbingan sekaligus. Yaitu al-huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan ar-rusyd (bimbingan dalam amal). Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah seorang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama ini.[7]

Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa al-khulafa` ar-râsyidîn (para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah setelah beliau Shallallahu 'alaihi wafat). Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin …”.[8]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin. Artinya para khalifah yang memiliki ar-rusyd, yaitu bimbingan dalam amal (lawan dari al-ghawâyah); dan memiliki al-huda, yaitu bimbingan dalam ilmu dan pemahaman (lawan dari adh-dhalâl). Ini menunjukkan, seseorang yang benar-benar mengikuti petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn dan termasuk pula para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara keseluruhan, maka orang itu akan terbimbing dengan baik dalam memahami dan mengamalkan agama Islam ini.

Kita mengetahui, para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dari kalangan at-Tabi’in yang menimba ilmu secara langsung dari para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka tidak hanya mempelajari secara teori belaka, akan tetapi juga mempelajari cara mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.

Abu 'Abdirrahmân 'Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah as-Sulami al-Kuufi [9] berkata: “Kami mempelajari Al-Qur`ân dari suatu kaum (para sahabat Radhiyallahu 'anhum) yang menyampaikan kepada kami, bahwa dulunya, ketika mereka mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur`ân dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), mereka tidak akan berpindah ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami kandungan ayat-ayat tersebut. Maka kamipun mempelajari Al-Qur`ân sekaligus cara mengamalkannya. Dan setelah kami nanti, akan datang suatu kaum yang mereka mempelajari Al-Qur`an seperti meminum air, yaitu Al-Qur`ân itu tidak melampui tenggorokan mereka (maksudnya, tidak masuk ke dalam hati mereka)”. [10]

PARA ULAMA SALAF, MEREKA MERUPAKAN IMAM DALAM ILMU DAN AMAL
Jika mencermati dengan seksama biografi para imam besar Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, kita akan mengetahui, mereka tidak hanya disifati sebagai orang-orang yang mendalam ilmu agamanya saja, akan tetapi, mereka juga orang-orang yang menjadi teladan dalam ibadah dan amal shalih.

Misalnya Rabî’ bin Khutsaim al-Kûfi (wafat tahun 65 H) [11], ia merupakan salah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu . Lantaran ketekunannya dalam ibadah dan ketakwaan, sehingga guru beliau sendiri -Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu - memujinya dengan mengatakan: “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatmu, maka sungguh beliau akan mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku mengingat orang-orang yang selalu menundukkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala).”[12]

Muhammad bin Sirin al-Bashri rahimahullah (wafat tahun 110 H) [13], ia seorang imam besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Di dalam biografinya diterangkan, beliau ialah seorang yang sangat wara` (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan seorang yang tekun beribadah. Abu ‘Awânah al-Yasykuri mengomentari tentang beliau: “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar; tidak seorangpun melihatnya, kecuali orang itu akan mengingat Allah”.[14]

Tsabit bin Aslam al-Bunâni al-Bashri (wafat tahun 123 H atau 127 H) [15], ia juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid senior sahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu . Tsabit bin Aslam sangat tekun beribadah, bahkan ia disifati sebagai orang yang paling tekun beribadah pada masanya, sehingga Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu memujinya dengan mengatakan: “Sesungguhnya, Tsabit termasuk pembuka pintu-pintu kebaikan”.[16]

Dalam memujinya, Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan”.[17]

'Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi rahimahullah (wafat tahun 181 H) [18], ia seorang imam besar ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in) yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Pensifatan terhadapnya, ialah sebagai orang yang pada diri beliau terkumpul semua sifat-sifat kebaikan; sampai-sampai Imam Sufyan bin ‘Uyainah memujinya dengan mengatakan: “Aku memperhatikan (membandingkan) sifat-sifat para sahabat Radhiyallahu 'anhum, dengan sifat-sifat 'Abdullah bin al-Mubarak, maka aku tidak melihat para sahabat Radhiyallahu 'anhum melebihi keutamaannya, kecuali karena para sahabat Radhiyallahu 'anhum menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berjihad bersamanya".[19]

Begitu pula dengan Ibnu Hajar dalam Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 271), ia berkata: “Dia ('Abdullah bin al-Mubarak, Red.) adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), memiliki ilmu dan pemahaman (yang mendalam), dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Azza wa Jalla). Pada dirinya terkumpul (semua) sifat-sifat baik”.

Sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdaadi dalam kitab beliau, Tarikh Baghdad (9/58), dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (13/203), dalam biografi imam besar penghafal hadits yang ternama, yaitu Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani (wafat tahun 275 H), pemilik kitab Sunan Abi Dawud.

Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam mempelajari ilmu hadits sehingga diketahui sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka ialah Imam Ahmad bin Hambal, beliau guru utama Imam Abu Dawud; kemudian Waqi’ bin al-Jarrah ar-Ruaasi, beliau termasuk guru utama Imam Ahmad; lalu Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, beliau merupakan guru utama Imam Waqi’ bin al-Jarrah; selanjutnya Manshur bin al-Mu’tamir, beliau termasuk guru utama Sufyan ats-Tsauri, selanjutnya Ibrahim bin Yazid an-Nakhâ`i, ialah termasuk guru utama Manshur bin al-Mu’tamir; kemudian ‘Alqamah bin Qais an-Nakhaa`i, beliau merupakan guru utama Ibrahim an-Nakhâ`i dan termasuk murid "senior' sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu. Selanjutnya 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliaulah yang langsung menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Mereka ini, semua merupakan imam-imam besar Ahlul-Hadits yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab hadits ternama, seperti Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, dan lain-lain.

Yang menarik dari nukilan itu, bahwasanya semua imam-imam besar tersebut disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam petunjuk dan tingkah lakunya”; mulai dari Sahabat 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam petunjuk dan tingkah lakunya, kemudian ‘Alqamah diserupakan dengan 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu dalam petunjuk dan tingkah lakunya, seterusnya sampai kepada Imam Abu Dawud rahimahullah, beliau diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk dan tingkah lakunya.

Dalam nukilan tersebut, kita mendapati para ulama Ahlus Sunnah dalam menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara teori belaka, akan tetapi juga mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui teladan yang diambil dari guru-guru beliau, padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat jauh.

NASIHAT UNTUK PARA PENGIKUT MANHAJ SALAF
Dari keterangan di atas sangat jelaslah, di antara keistimewaan terbesar yang ada pada manhaj salaf, yaitu perhatian dan kesemangatan mereka dalam mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, maka kita yang menisbatkan diri kepada manhaj ini, seharusnya berusaha untuk mengikuti petunjuk mereka, agar kita termasuk ke dalam golongan “orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan kebaikan” dan mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla. Karena kalau bukan kita – terlebih lagi para penuntut ilmu di antara kita – yang semangat mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al- Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu siapa lagi?!

Marilah kita perhatikan dengan seksama nasihat Imam al-Khatîb al-Baghdadi tentang adab-adab utama yang seharusnya dimiliki oleh para penuntut ilmu. Beliau berkata, semestinya para penuntut ilmu hadits (berusaha) membedakan (antara) dirinya dengan kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnahnya, karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu" [al-Ahzâb/33:21]

Kemudian al-Khatîb al-Baghdadi membawakan beberapa atsar (riwayat) dari ulama Salaf, di antaranya ucapan Imam al-Hasan al-Bashri raimahullah : “Dahulu, jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangannya”.

Juga atsar dari Imam Ahmad bin Hambal, ketika ada seorang penuntut ilmu yang bermalam di rumah beliau, maka Imam Ahmad menyiapkan air (untuk berwudhu), kemudian paginya Imam Ahmad datang kepada tamunya tersebut dan mendapati air yang beliau siapkan tidak berkurang sama sekali, maka beliau berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah)! Seorang penuntut ilmu tidak melakukan wirid (dzikir dan shalat) pada malam hari?!”

Demikianlah, petunjuk para ulama Salaf dalam menjalankan agama ini; yang kita mengaku menisbatkan diri kepada manhaj mereka, akan tetapi sudahkah kita menerapkan petunjuk mereka dalam diri kita?

Semoga tulisan ini menjadi koreksi dan penambah motivasi bagi kita untuk lebih semangat mencari ilmu yang bermanfaat, dan berusaha melatih diri mengamalkan ilmu tersebut, serta tidak lupa banyak berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, agar kita diberi kemudahan dalam menempuh manhaj yang lurus ini.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mengikuti petunjuk para ulama Salaf dengan kebaikan, serta menjadikan diri kita tetap istiqamah di atas manhaj yang lurus ini sampai akhir hayat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Metode beragama yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus-Sunnah yang mengukuti petunjuk mereka.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir, 4/432.
[3]. Artinya kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami agama Islam, yang disebabkan ketidakmampuan membedakan antara yang benar dan yang batil (salah). Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitabnya Igâtsatul-Lahafân, hlm. 40 –Mawâridul-Amân.
[4]. Artinya memperturutkan keinginan nafsu yang buruk dan mendahulukannya daripada petunjuk Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[5]. Kerusahan dalam ilmu dan pemahaman.
[6]. Kerusakan dalam amal.
[7]. Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitab Miftahu Dâris-Sa’âdah, 1/40.
[8]. HR Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42 dan 43) dan al-Hakim (no. 329) dan lain-lain, dari sahabat yang mulia al ‘Irbaadh bin Saariyah Radhiyallahu 'anhu. Riwayat ini dinyatakan shahîh oleh at- Tirmidzi, al-Hakim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi, begitu pula Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no. 937).
[9]. Beliau ialah seorang Tabi’in senior yang terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga riwayat hadits beliau dicantumkan oleh para imam ahli hadits dalam kitab-kitab hadits mereka, seperti halnya al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasâ`i, dan lain-lain. Beliau wafat pada sekitar tahun 73 atau 74 H. Biogarafi beliau terdapat di dalam kitab Tahdzîbul-Kamala (14/408), Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/267), dan Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 250).
[10]. Atsar ini dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/269). Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama ‘Atha` bin as-Saaib al-Kuufi. Ibnu Hajar di dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 250) berkata tentang perawi ini: “Dia adalah seorang yang sangat jujur, akan tetapi (hafalannya) tercampur”.
Meskipun demikian, perawi yang meriwayatkan darinya dalam atsar ini ialah Hammâd bin Zaid al-Bashri yang meriwayatkan darinya sebelum hafalannya tercampur, sebagaimana ucapan Imam Ali bin al-Madîni dan al-‘Uqaili (lihat kitab Tahdzîbul-Kamâl, 7/185). Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari ucapan sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (1/60) dengan sanad yang semua perawinya terpercaya, akan tetapi Sulaiman bin Mihraan al-A’masy meriwayatkannya dengan ‘an’anah, sedangkan ia seorang mudallis.
[11]. Biografi beliau dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/70) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258).
[12]. Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258), juga dinukil oleh al-Mîzi dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/72) dan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb (hal. 157).
[13]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (25/344) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/606).
[14]. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/610). Sifat beliau ini menunjukkan bahwa beliau ialah wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla, karena Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Wali (kekasih) Allah ialah seseorang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah”. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12325), Dhiya’uddin al-Maqdisi dalam al-Ahâditsul-Mukhtârah (2/212), dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan kuat oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah (no. 1733) karena diriwayatkan dari jalur lain yang saling menguatkan.
[15]. Biografi beliau terdapat dalam Tahdzibul-Kamal (4/342) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (5/220).
[16]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no 35679). Semua perawinya terpercaya kecuali Zaid bin Dirham al-Bashri; tidak ada seorang imampun yang menyatakannya sebagai orang yang terpercaya kecuali Ibnu Hibban yang menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqât (4/247).
[17]. HR Ibnu Majah (no. 237) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah (no. 251). Dinyatakan hasan (baik) oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no. 1332) karena diriwayatkan dari berbagai jalur lain yang saling menguatkan.
[18]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (16/5) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/378).
[19]. Lihat Tahdzibul-Kamal (16/16) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/390).
[20]. Lihat kitab beliau, al-Jâmi’ li Akhlâqir-Râwi wa Âdâbis-Sâmi’ (1/215).

Selasa, 07 April 2009

Shalat tanpa Penutup Kepala

Sholat bukanlah permainan, tapi ia adalah tanda ketundukan, keseriusan, ketawadhuan, dan kerendahan diri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Seyogyanya seorang hamba saat ia menghadap, ia mengenakan pakaian yang layak digunakan; jangan asal-asalan dalam melaksanakan sholat !! Pilihlah pakaian yang layak, sebab sebagian orang ada yang tidak memperhatikan pakaian dan kondisi dirinya, seperti ia masuk ke dalam sholat, tanpa mengenakan penutup kepala, semisal surban, songkok, dan lainnya. Seakan-akan ia adalah seorang pekerja kuli yang mengenakan pakaian seadanya, padahal ia menghadap Allah Robbul Alamin.

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Hai anak Adam, pakailah perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf: 31).

Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga (dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta (menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang paling utama adalah pakaian putih". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/281)]

Diantara perhiasan seorang mukmin adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (surban). Kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah (surban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau songkok. Adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka ini adalah kebiasaan orang di luar Islam.

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ

"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1359), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4077), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1104 & 3584)]

Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

كَانَ الْقَوْمُ يَسْجُدُوْنَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْقَلَنْسُوَةِ وَيَدَاهُ فِيْ كَمِّهِ

"Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) secara mu’allaq dengan shighoh jazm, Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]

Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

رَأَيْتُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَلَنْسُوَةً بَيْضَاءَ مِصُرِيَّةً

"Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)]

Inilah beberapa hadits dan atsar yang menunjukkan bahwa para salaf (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in), dan generasi setelahnya memiliki akhlaq, dan kebiasaan, yaitu menutup kepala baik di luar sholat, apalagi dalam sholat. Kebiasaan dan sunnah ini telah ditinggalkan oleh generasi Islam, hanya karena alasan malu, dan tidak sesuai zaman –menurut sangkaannya- !! Terlebih lagi dengan munculnya berbagai macam model, dan gaya rambut yang terkenal, seperti model Duran-Duran, Bechkham, Mandarin, dan lainnya. Semua ini menyebabkan sunnah memakai penutup kepala mulai pudar, dan menghilang. Nas’alullahas salamah minal fitan.

Jadi, disunnahkan bagi setiap orang yang mau melaksanakan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai imamah (sorban), songkok, atau lainnya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah. Boleh melakukan shalat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki, sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita, bukan untuk kaum pria. Namun tentunya jangan dijadikan kebiasaan seorang masuk ke dalam sholat ataupun di luar sholat tanpa mengenakan surban atau songkok.

Seorang yang tidak memakai penutup kepala -tanpa udzur-, maka makruh hukumnya. Terlebih lagi ketika melakukan shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya secara berjamaah. [Lihat As-Sunan wal Mubtadaat (hal. 69) karya Asy-Syuqoiriy].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Menurut hematku, sesungguhnya shalat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." (Permulaan hadits di atas adalah:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ مَنْ تُزُيِّنَ لَهُ

"Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." [HR Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’aani Al-Atsar (1/221), Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi di dalamAs-Sunan Al-Kubra (2/236) dengan sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalamAl-Majma’ Az-Zawa’id (2/51). Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1369]

Syaikh Al-Albaniy berkata lagi, "Tidak memakai tutup kepala bukan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk ini ; namun sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengenyampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala.

Adapun argumentasi yang membolehkan membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang dari Jama’ah Anshorus Sunnah di Mesir adalah dengan mengkiaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah usaha kias terburuk yang mereka lakukan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan termasuk dalam manasik, yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.

Seandainya kias yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. [Lihat Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah (hal. 164-165)].

Tidak pernah disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak memakai tutup kepala ketika shalat kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai imamah ketika shalat -selain pada saat melakukan ihram-, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya. Yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti. [Lihat Ad-Dinul Khalish (3/214) dan Al-Ajwibah An-Nafi’ah an Al-Masa’il Al-Waqi’ah (hal.110)]

Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa shalat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, dan sholat tidak batal sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan mayoritas ulama lain. Namun jangan disangka kalau hukum sekedar makruh, oh boleh dengan bebas tidak pakai tutup kepala, tidak demikian !! Karena ini bukan kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat. [Lihat Al-Majmu’ (2/51).

Anggapan orang awam bahwa menjadi makmum di belakang imam yang tidak memakai tutup kepala adalah tidak boleh. Ini adalah tidak benar. Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan, sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan shalat, dan mengikuti semua sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 75 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/?p=301

Wahai Para Da’I dan Penuntut Ilmu, Waspadai Ghurur

Ghurur adalah suatu sifat yang menipu penyandangnya. Dia adalah suatu kebodohan yang membuat seseorang menilai sesuatu yang jelek sebagai sesuatu yang baik dan kesalahan sebagai sesuatu kebenaran. Demikian dijelaskan Ibnul Jauzi t dalam bukunya Talbis Iblis. Sifat ini muncul karena bercokolnya syubhat atau kerancuan berpikir yang membuatnya salah dalam menilai. Iblispun masuk untuk menggoda manusia seukuran kemampuannya dan akan semakin mantap cengkramannya terhadap seseorang atau semakin melemah seiring dengan ukuran kesadaran atau kelalaian orang tersebut, juga sebatas kebodohan atau keilmuannya. Demikian beliau jelaskan dalam kitab tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencela sifat ini dalam banyak ayat Al-Qur`an. Karena sifat ini telah membuat sekian banyak manusia terjerembab dalam kubang kehinaan dan kerugian, yang tentunya murka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mereka rasakan. Orang kafir dan para munafik adalah sebagian contoh dari sekian banyak contoh korban sifat ghurur. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللهِ الْغَرُورُ
“Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: ‘Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?’ Mereka menjawab: 'Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu’.” (Al-Hadid: 14)
Yakni kalian tertipu oleh setan sehingga kalian tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan seagung-agungnya. Sehingga kalian tidak mengetahui kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kalian. Akhirnya kalianpun mengira bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian lakukan. (Zubdatut Tafsir)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menerangkan tentang kondisi orang kafir yang tertimpa ghurur sehingga tertipu oleh gemerlapnya kehidupan dunia:
ذَلِكُمْ بِأَنَّكُمُ اتَّخَذْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ لاَ يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلاَ هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ
“Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (Al-Jatsiyah: 35)
Demikian mereka dihancurkan oleh ghurur, sehingga mereka menuai hasil yang teramat getir di akhirat. Janganlah mengira bahwa hanya mereka yang tertimpa ghurur. Ternyata kaum muslimin pun, dari berbagai macam status sosial mereka, bahkan para ulama, para da’i, dan para penuntut ilmu juga banyak yang tertimpa ghurur. Sungguh realita yang menyedihkan.
Ibnu Qudamah t menjelaskan bagaimana ghurur ini menimpa orang-orang yang berilmu. Di antara mereka ada orang-orang yang menekuni ilmu syar’i akan tetapi mereka melalaikan pengawasan terhadap amal anggota badan mereka dan penjagaan dari perbuatan-perbuatan maksiat, serta lalai untuk menekan diri mereka agar senantiasa taat. Mereka tertipu dengan ilmu yang ada pada mereka sehingga mereka menyangka bahwa mereka punya tempat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Padahal bila mereka melihat dengan ilmu mereka tentu akan tahu bahwa ilmu tidak dimaksudkan dengannya kecuali amal. Kalaulah bukan karena amal tentu ilmu tersebut tidak bernilai, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (Asy-Syams: 9)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan: telah beruntung orang yang mempelajari ilmu bagaimana cara menyucikannya.
Orang yang tertimpa ghurur semacam ini, bila setan membisikkan kepadanya tentang keutamaan para ulama, maka hendaknya mengingat ayat-ayat yang menerangkan kepada kita tentang orang-orang yang berilmu tapi bermaksiat. Semacam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (Al-A’raf: 175-176)
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللهِ وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Al-Jumu’ah: 5)
Di antara mereka ada sekelompok yang menekuni ilmu dan amal lahiriah tapi tidak mengawasi kalbu mereka agar menghapus dari diri mereka sifat-sifat yang tercela, semacam sombong, hasad atau iri dan dengki, riya` dalam amal, mencari popularitas, ingin lebih unggul dari yang lain.
Mereka telah menghiasi lahiriah mereka, akan tetapi melupakan batin mereka dan mereka lupa terhadap hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada penampilan-penampilan dan harta benda kalian. Akan tetapi melihat kepada kalbu dan amal kalian.” (Shahih, HR. Muslim dan Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Sekelompok yang lain mengetahui bahwa akhlak-akhlak batin tersebut tercela. Namun karena sifat bangga diri yang tersimpan pada mereka, mereka merasa aman bahkan merasa telah terbebas dari sifat-sifat tercela itu. Mereka merasa lebih tinggi untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan pada mereka sifat-sifat itu, bahkan –menurut mereka– yang tertimpa itu adalah mereka yang masih awam. Bila muncul dalam diri mereka percik kesombongan, merekapun mengatakan dalam diri mereka, ‘Ini bukan sombong. Bahkan ini adalah demi kemuliaan agama dan untuk menampakkan kemuliaan ilmu, serta merendahkan ahli bid’ah.’ Enggan berteman dengan orang-orang yang lemah, maunya dengan orang yang berpangkat atau berduit, merasa hina bila berteman dengan kaum dhuafa.
Mereka tertipu oleh ghurur. Mereka lupa bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dahulu adalah orang-orang yang tawadhu’. Mereka bergaul dengan kaum dhuafa, bahkan mereka mengutamakan kefakiran dan kemiskinan.
Diriwayatkan bahwa 'Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu dahulu ketika pergi menuju Syam beliau mendapati sungai yang mesti diseberangi. Maka turunlah beliau dari untanya dan melepaskan dua sandalnya lalu membawanya sembari mencebur dan menyeberangi sungai itu dengan untanya. Saat itu berkatalah Abu 'Ubaidah kepadanya: “Sungguh pada hari ini engkau telah melakukan sesuatu yang besar di mata penduduk bumi.” Umar pun menepuk dadanya dan mengatakan: “Duhai seandainya selainmu yang mengatakan kata-kata ini, wahai Abu Ubaidah. Sesungguhnya kalian (bangsa Arab) dahulu adalah orang-orang yang paling hina dan rendah, lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat kalian dan muliakan kalian dengan sebab mengikuti Rasul-Nya. Maka bagaimanapun kalian mencari kemuliaan dengan selain jalan itu niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakan kalian.”
Sekelompok yang lain juga tertimpa ghurur, mereka mencari kesenangan dunia, kemuliaan, fasilitas, kecukupan dengan memperalat penampilan kealiman atau keshalihannya. Bila muncul pada mereka percikan riya`, iapun mengatakan dalam dirinya: “Saya hanya bermaksud menampakkan ilmu dan amal agar orang mengikuti saya, agar orang mendapat hidayah kepada ajaran ini.”
Padahal jika tujuan mereka benar-benar untuk memberi jalan hidayah untuk manusia, tentu ia akan merasa senang ketika manusia mendapat hidayah melalui selain tangannya. Sebagaimana senangnya ketika manusia mendapat hidayah melalui tangannya. Karena siapa saja yang tujuan dakwahnya adalah memperbaiki manusia, maka ia akan merasa senang ketika manusia menjadi baik melalui tangan siapapun.
Masih ada sekelompok yang lain. Mereka menekuni ilmu, membersihkan amal anggota badan mereka, serta menghiasinya dengan ketaatan, dan mengawasi amal kalbu mereka agar bersih dari riya, hasad, dan sombong. Akan tetapi masih tersisa di sela-sela kalbunya, tipu daya setan yang tersembunyi dan bahkan tipu daya jiwanya yang juga tersembunyi. Ia tidak tanggap akan keberadaannya. Engkau lihat mereka berupaya sungguh-sungguh dalam beramal dan memandang bahwa faktor pendorongnya adalah menegakkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi pada kenyataannya terkadang pendorongnya adalah mengharap sebutan orang terhadapnya. Sehingga terkadang muncul sikap merendahkan yang lain melalui sikapnya menyalah-nyalahkan yang lain, merasa dirinya lebih mulia dari yang lain.
Ini dan yang sejenisnya merupakan cacat yang tersembunyi. Tidak terdeteksi kecuali oleh mereka yang kuat dan cermat serta tentunya mendapat taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang semacam kami yang lemah ini maka kecil harapannya. Namun paling tidaknya seseorang mengetahui aib dirinya dan berusaha untuk memperbaikinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda:
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَائَتْه ُسَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Barangsiapa yang kebaikannya menyenangkannya dan kejelekannya menyusahkannya maka dia seorang mukmin.” (Shahih, HR Ath-Thabarani dari sahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir)
Orang yang semacam itu masih bisa diharapkan. Berbeda dengan mereka yang menganggap suci dirinya dan merasa dirinya termasuk orang-orang yang terpilih.
Inilah ghurur yang menimpa orang-orang yang memperoleh ilmu agama. Bagaimana kiranya dengan mereka yang puas dengan ilmu yang tidak penting dan meninggalkan yang penting? Wallahul musta’an.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=709

ADA APA DENGAN SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

KENAPA HARUS MEMUSUHI SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

Transkrip Ceramah

Fadhîlatu asy-Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabî


Pertama : Kami telah mengenal Syaikh Muhammad Hassân semenjak 10 tahun yang lalu –ini bukan waktu yang singkat-. Kami telah menasehati beliau sebelum orang lain menasehatinya. Saya telah menasehati Muhammad Hassân pada tahun 2000 sampai-sampai ia menjadi murka kepadaku. Kami ketika itu sedang sarapan dan ia keluar meninggalkan sarapannya dalam keadaan marah. Akan tetapi hal ini tidak menghalangi kami untuk tetap terus menjalin persaudaraan (ukhuwwah) dan memberikan nasehat, dan tetap saling menasehati dan memberikan wasiat di dalam kebenaran dan kesabaran.

Muhammad Hassân 10 tahun yang lalu –baik kita kehendaki maupun tidak- bukanlah Muhammad Hassân yang sekarang ini. Program-program (dakwah) di televisi telah bermunculan dan beliau memiliki andil di dalam menyebarkan aqidah dan dakwah (salafiyah). Beliau memiliki pengaruh yang nyata pada seluruh negeri Islam, setidak-tidaknya di dalam memberikan hidayah (bayân wa irsyâd, bukan hidayah taufik, pen) terhadap manusia secara umum.

Sebagaimana telah kami utarakan, bahwa dakwah salafiyah itu bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Sayyid Quthb walaupun kami memperingatkan darinya. Dakwah salafiyah juga bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Ibnu Lâdin walaupun kami juga memperingatkan darinya. Bukan pula yang hanya memperingatkan dari aktivitas takfîr (pengkafiran) walaupun kami turut memperingatkan darinya. Namun, dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kepada cahaya. Dan yang terpenting adalah aqidah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

“Banyaknya dosa namun tauhidnya lurus lebih baik daripada tauhidnya rusak dengan dosa yang sedikit.”

Apa artinya? Artinya adalah bahwa dakwah kita ini adalah dakwah aqidah. Apabila beliau memiliki aqidah yang lurus maka inilah yang pokok…

Muhammad Hassân saat ini, beliau banyak mengisi di program-program (dakwah) di televisi dan Alloh pun menganugerahkan kepadanya semangat. Kami melihat… bahwa dakwah beliau adalah dakwah aqidah dan mengikat manusia dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, mengutip ucapan para ulama seperti Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimîn dan al-Albânî dan memuliakan mereka. Manakah yang lebih utama (harus kita lakukan) di dalam dakwah kita, membantu, menasehati dan mendekatinya ataukah kita rusak, hancurkan (kehormatannya), dan menvonisnya bid’ah dan sesat?!

Yang manakala dia bertaubat (dari kesalahannya) kita malah berkata kepadanya “taubatmu tertolak”!

Manakala dia menghadap, kita malah berkata padanya dengan membelakanginya!

Apakah ini ada maslahat syar’i-nya walaupun hanya sedikit saja?!

Muhammad Hassan ketika datang untuk kesekian kalinya, kami duduk bersama beliau, dan ketika itu hadir bersama kami saudara DR. Muhammad Mûsâ Nashr dan saudara DR. Bâsim al-Jawâbirah. Kami pun memberikan beberapa nasehat kepada beliau (Syaikh Muhammad Hassan). Terutama tentang sikap beliau terhadap Sayyid Quthb. Lantas beliau berkata kepadaku secara tegas : “Ketika saya membaca buku Anda, Haqqu Kalimah al-Imâm al-Albânî fî Sayyid Quthb, saya katakan, bahwa seakan-akan Anda menulisnya dengan lisanku. Semenjak saat itu-lah saya meniadakan semua penukilanku dari Sayyid Quthb di dalam semua buku-bukuku.”

Siapa yang berkata seperti ini?! Lantas apakah layak kita mengatakan kepadanya, “Anda pendusta!! Anda hanya mengada-ada dan mengatakan hal ini karena pura-pura (taqiyah) dan main-main saja. Kami tidak mau menerima taubat Anda, kembalilah Anda kepada kesesatan Anda yang sebelumnya!” Ataukah selayaknya kita mengatakan kepadanya, “Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan”, lalu kita memegang tangannya dan mendekatinya, dan moga-moga hal ini dapat menjadi pembuka (kebaikan), tidakkah ini adalah lebih utama.

Kemudian, selepas kepergianku, datang sebagian rekan (menginformasikan) bahwa ada sejumlah orang rendahan yang mengobarkan kekacauan dan melakukan perbincangan yang panjang mengenai kunjunganku ini, mereka membangun beberapa hal di atasnya (untuk menvonis) tanpa adanya nasehat dan tanpa melakukan pembicaraan –terhadap salah satu fihak dan tentang vonisnya-. Tatkala datang sebagian rekan dari golongan orang yang mengobarkan (fitnah) dunia tanpa bukti, tanpa ilmu, tanpa argumentasi yang nyata, tanpa nasehat dan tanpa ada sedikitpun cara kritik (yang ilmiah), maka kami pun menghubungi Muhammad Hassân pada pagi hari, namun tidak diangkat. Ketika sore hari kami dapat menghubunginya, kami bertanya kepada beliau yang singkatnya seperti ini : “Dinukil dari Anda ucapan-ucapan tertentu yang sebagian manusia menjadikannya sebagai bukti untuk menvonis Anda bid’ah, kami bermaksud mendengar jawaban Anda tentang hal ini. Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?” Syaikh Masyhur lah yang menanyakan ini seakan-akan beliau sedang menginvestigasi.

“Apa sikap Anda tentang pengkafiran terhadap penguasa?”

Dia (Syaikh Muhammad Hassan) menjawab : “Pengkafiran terhadap penguasa termasuk perbuatan khowârij, hal ini tidak boleh (hukumnya). Kami menganggap penguasa sebagai ulil amri dan kami menasehati mereka (dengan cara baik). Kami memohon kepada Alloh untuk memberikan hidayah-Nya kepada kami, Anda dan mereka (para penguasa), dan mendoakan mereka (dengan kebaikan).”

“Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Sayyid Quthb bukanlah termasuk ulama. Beliau memiliki aqidah yang menyimpang, dan tidak boleh bagi penuntut ilmu menekuni buku-buku beliau.”

Apakah kita menginginkan lebih dari ini?

Beliau (Syaikh Muhammad Hassan) memiliki ucapan (yang memuji) Usâmah bin Lâdin pada 10 tahun yang lalu. Mereka (para penfitnah) itu senantiasa mengambil ucapannya ini sampai sekarang (untuk mendiskreditkan Syaikh Syaikh Muhammad Hassan). Sepuluh atau delapan tahun yang lalu (memang dia memuji Syaikh Muhammad Hassan). (Namun sekarang) dia berkata :

“Saya tidak mendukung pemikiran Usâmah bin Lâdin maupun al-Qaeda. Cukuplah apa yang mereka lakukan itu. Aktivitas mereka ini tidak memiliki dalil atau sunnah!”

“Apa pendapat Anda tentang aktivitas bom bunuh diri?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Aktivitas bom bunuh diri yang berlangsung di negeri kaum muslimin termasuk kerusakan. Tidak boleh dan tidak sepatutnya (hal ini dilakukan), sebab hal ini termasuk membunuh diri sendiri.”

Apakah Anda menginginkan lebih dari ini?!!

Mereka (anehnya) mengatakan bahwa taubatnya ini tidak benar dan hanya main-main saja.

Wahai saudaraku, tidaklah (dikatakan) beriman salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai apa yang ada pada saudaranya sebagaimana ia mencintai apa yang ada pada dirinya sendiri.

Apabila Anda berada di posisinya, apakah Anda akan mengatakan lebih banyak dari hal ini?

Wahai saudara-saudaraku, seorang pria yang berada di tempatnya, yang ditunggu-tunggu oleh orang yang mencintai dan membencinya, dari kalangan khusus dan masyarakat umum.

Kita saat ini berada di majelis hanya berlima. Kita terkadang berbicara dengan bahasa yang simple (sederhana), tentu saja ucapan kita ini lebih banyak dijaga dan lebih berhati-hati apabila kita di majelis dengan lima puluh orang.

Apabila (kita) sedang direkam, atau berada di Masjid, maka ucapan perlu lebih dijaga lagi. Apalagi jika di program televisi yang disaksikan oleh jutaan orang, baik orang yang mencintai maupun yang membenci, yang memusuhi maupun yang menyokong, orang yang menunggu-nunggu dan mencatat. Tidakkah jika pada saat itu saya tidak berbicara dengan teratur dan sistematis, bisa jadi ucapanku difahami (secara salah), diriku ditentang dan saya dilarang dari kebaikan ini.

Jadi, (setiap sesuatu) ada fasenya. Saya pernah mengetahui ucapan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn yang mengisyaratkan hal yang serupa dengan perkataan ini : “Bahwa manusia itu ada fasenya. Tidak boleh kita berinteraksi dengan manusia hanya menggunakan satu fase saja.”

Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di zaman beliau yang mulia pernah bersabda :

“لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه “

“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada ahli kitab. Apabila kalian melihat mereka di jalan, maka desaklah mereka sampai menyingkir ke pinggir.”

Siapakah diantara kita yang bisa menerapkan hadits ini saat ini?!! Sama saja baik di negeri Barat maupun Timur!! Bahkan di negeri dua tanah suci yang mulia.

Jawabnya adalah tidak ada (yang bisa). Apa sebabnya?? Kami katakan, (hal ini disebabkan) perbedaan fase.

Saya katakan : apakah perbedaan fase hanya berlaku untuk hal itu saja? Ataukah juga berlaku untuk hal itu dan selainnya, baik berupa ucapan maupun perbuatan?!

Jadi, wajib bagi kita memperhatikan semua hal ini. Adapun menjadikan semua manusia itu seakan-akan mereka ini adalah alat salin, maka ini termasuk kezhaliman. Atau menjadikan dakwah salafiyah seakan-akan organisasi militer, kerjakan! Jangan kerjakan! Maka ini adalah penyelewengan dan perobahan.

Jadi, buah dari majelis tersebut adalah kebaikan yang banyak, dan beliau banyak kembali (bertaubat) kepada kebenaran. Sembari kami tetap memohon supaya Alloh menambah lebih. Akan tetapi, kami berkeinginan untuk menjadi penolong bagi saudara-saudara kami dari syaithan, bukannya malah kami menjadi penolong bagi syaithan terhadap saudara-saudara kami.

Dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelelapan menuju kepada cahaya.

Sumber : http://almenhaj.net

التجريح والتعديل والتبديع
…والشيخ محمد حسان

أولا: معرفتنا بالشيخ محمد حسان من عشر سنوات -ليست قريبة- ومناصحتنا له قبل أن يناصحه غيرنا، أنا ناصحت محمد حسان سنة 2000 حتى غضب مني ، وكنا على إفطار وخرج مغاضباً من افطاره ، ولكن هذا لم يمنعنا من استمرار الاخوة والنصيحة ولم يمنعنا من استمرار التناصح ؛والتواصي بالحق والتواصي بالصبر .

محمد حسان قبل عشر سنوات - شئنا أم أبينا - ليس محمد حسان اليوم ، وقد فتحت الفضائيات وله جهود في نشر العقيدة والدعوة وله تأثير واضح في كل البلاد الاسلامية على الاقل في باب هداية عامة الناس ، وكما قلنا الدعوة السلفية ليس فقط دعوة تحذير من سيد قطب ، وإن كنا نحذر من سيد قطب ، وليس الدعوة السلفية هي دعوة التحذير من ابن لادن فقط وإن كنا نحذر من ابن لادن ، وليست التحذير من التكفير فقط ،وإن كنا نخذر من التكفير . الدعوة السلفية دعوة اخراج الناس من الظلمات إلى النور، وأهم ذلك العقيدة ، عندما يقول شيخ الاسلام ابن تيمية :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

معناه ماذا ؟ أن دعوتنا دعوة عقيدة ، فإن كانت عنده عقيدة صحيحة فهذا الأصل ، …..

محمد حسان -الآن- وقد فتحت له الفضائيات ورزقه الله نشاطاً ، ونرى … دعوته بالعقيدة وربط الناس بالكتاب والسنة ، والنقل عن العلماء ؛ كابن باز وابن عثيمين والالباني؛ وتعظيمهم ، أيهما أولى بدعوتنا أن نآزره وأن نناصحه وأن نقربه ، أم أن نكسره وان نهزمه وأن نبدعه وان نضلله ؟! ، وإذا تاب أن نقول له توبتك مرفوضة ! وإذا أقبل نقول له أدبر ! هل هذا من المصلحة الشرعية في شيء؟!

فمحمد حسان لما جاء في هذه المرة ، جلست معه - وكان موجوداً معنا أخونا الدكتور محمد موسى نصر وأخونا الدكتور باسم الجوابرة - ونصحته عدة نصائح ، أهمها موقفه من سيد قطب . فقال لي بالحرف الواحد : « لما قرات كتابك حق كلمة الامام الالباني في سيد قطب» ، قلت :« كأنك تكتب على لساني ، فمنذ ذلك الوقت نفيت كل نقولي عن سيد قطب في أي كتاب من الكتب » .

فمن قال هذا ، أنقول له انت كذاب ؟؟!! وتفتري وتقول هذا تقية وتلاعباً ولا يجوز ان نقبل منك التوبة وارجع إلى ضلالك القديم .

أم نقول له جزاك الله خيراً ونأخذ بيده ونقربه لعل هذا يكون فاتحة لما هو أولى .

ثم بعد أن سافرت جاء بعض الاخوة وقد أثار بعض الهمج فوضى وكلاما طويلا عن هذه الزيارة وبنى عليها أموراً دون أن ينصح، ودون أن يتكلم -أنت الخصم والحكم- فلما جاء بعض الاخوة من طرف هذا الانسان الذي أثار الدنيا بدون بينة ودون علم ودون بصيرة ودون نصيحة ودون أدنى وجه من وجوه النقد ، اتصلنا بمحمد حسان -في الصباح - فلم يرد، وإذ به يتصل بالمساء قلنا له بعبارة قصيرة : ينقل عنك أقوال معينة جعلت بعض الناس يبدعونك ، فنحن نريد ان نسمع جوابك.

فما موقفك من سيد قطب - الشيخ مشهور كان يسأله كأنه محقق-

ما موقفكم من تكفير الحكام ؟

قال: تكفير الحكام فعل الخوارج ولا يجوز ونحن نعتبرهم أولياء أمور ونناصحهم ونسأل الله لنا ولكم ولهم الهداية والدعاء لهم.

ما موقفكم من سيد قطب ؟

سيد قطب ليس من أهل العلم وله عقائد ضالة ولا يجوز لطلبة العلم أن يقتنوا كتبه

ماذا نريد أكثر من هذا ؟

له كلمة باسامة بن لادن قبل عشر سنوات وما زالوا يؤاخذنه بها للآن .

قبل عشر سنوات أو ثمان سنوات

قال : أنا لا أؤيد أفكار أسامة بن لادن ولا القاعدة ، ويكفي هؤلاء أنهم فعلوا وفعلوا ، وأفعالهم بلا دليل أو سنة

ما رأيك بالعمليات الانتحارية ؟؟

العمليات الانتحارية التي تجري في بلاد المسلمين فيها من المفاسد ولا يجوز ولا ينبغي وهذه قتل للنفس .

ماذا تريد أكثر من ذلك ؟؟!!

قالوا هذه التوبة غير صحيحة توبة يتلاعب بها

يا اخي لا يؤمن احدكم حتى يحب لاخيه ما يحب لنفسه

لو كنت مكانه ماذا تقول اكثر من ذلك ؟

يا اخواني : رجل في موضعه يتربص به المحب والشانئ والخاص والعام.

فنحن الآن في المجلس خمسة ، قد نتكلم بسهولة ، فهل يكون كلامنا نفس الكلام ام متحفظ أكثر فيما إذا كان المجلس خمسين .

وإذا كان في تسجيل ، أو إذا كان في مسجد سيكون بتحفظ أكثر و أكثر ، وإذا كان في فضائية يحضرها الملايين من المحبين والمبغضين والشانئيين والمؤيديين والمتربصين والرسميين ألا يكون هنالك عبارة أعرف اذا تكلمت بها على نسق قد تفهم عني وقد يؤلب علي وقد امنع من هذا الخير

إذن هنالك ظروف ، وانا رأين كلمة للشيخ ابن عثيمين فيها الاشارة الى مثل هذا القول :أن الناس لهم ظروف ، فلا يجوز ان تعامل الناس على ظرف واحد .

فالرسول صلى الله عليه وسلم في زمانه الشريف كان يقول : “لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه ” من منا يستطيع أن يطبق هذا الحديث اليوم ؟!!سواء في بلاد الغرب او في بلاد الشرق !!حتى في بلاد الحرمين الشريفين .

الجواب : لا

فما السبب ؟؟

نقول اختلاف الظروف

أقول : أأختلاف الظروف في هذه فقط ؟ ام فيها وفي غيرها من القول أو الفعل !؟

إذن يجب ان نراعي هذه الأمور ، أما ان نأخذ الناس كلهم كأنهم آلة ناسخة هذا ظلم ان نأخذ الدعوة السلفية كانها مؤسسة عسكرية .افعل ولا تفعل هذا تحريف وتغيير

إذن ما حصل في الجلسة هو خير كثير وتراجع إلى كثير من الحق واملنا بالله بالمزيد لكن نريد ان نكون اعوانا لاخواننا على الشيطان لا نريد ان نكون اعوانا للشيطان على اخواننا

والدعوة السلفية هي دعوة اخراج الناس من الظلمات الى النور

HUKUM GAMBAR

Syaikh ‘Abdullâh al-‘Ubailân

Syaikh ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân hafizhahullâhu ditanya tentang hukum gambar, maka beliau hafizhahullâhu menjawab :

Masalah ini ada perinciannya. Para ulama bersepakat akan keharaman gambar (yang dibuat) oleh tangan, sebagaimana mereka juga bersepakat akan haramnya gambar-gambar yang berfisik (jism) dan patung-patung. Inilah yang disepakati oleh para ulama (keharamannya) dan banyak nash-nash yang secara tegas menunjukkan (akan keharaman) gambar-gambar yang telah ada semenjak zaman nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Adapun gambar-gambar yang ada di zaman ini, maka terbagi menjadi dua : yaitu gambar fotografi dan gambar video. Adapun yang pertama (yaitu fotografi) maka para ulama ahlus sunnah bersepakat akan haramnya menggantungkan gambar-gambar foto dan hukumnya sama dengan hukum gambar yang dihasilkan dari gambar tangan yang digantung. Sebab, keserupaan hasil dari gambar yang dibuat oleh tangan sama dengan gambar yang dihasilkan oleh kamera.

Senin, 06 April 2009

Shalat tanpa Penutup Kepala

Sholat bukanlah permainan, tapi ia adalah tanda ketundukan, keseriusan, ketawadhuan, dan kerendahan diri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Seyogyanya seorang hamba saat ia menghadap, ia mengenakan pakaian yang layak digunakan; jangan asal-asalan dalam melaksanakan sholat !! Pilihlah pakaian yang layak, sebab sebagian orang ada yang tidak memperhatikan pakaian dan kondisi dirinya, seperti ia masuk ke dalam sholat, tanpa mengenakan penutup kepala, semisal surban, songkok, dan lainnya. Seakan-akan ia adalah seorang pekerja kuli yang mengenakan pakaian seadanya, padahal ia menghadap Allah Robbul Alamin.

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Hai anak Adam, pakailah perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf: 31).

Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga (dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta (menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang paling utama adalah pakaian putih". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/281)]

Diantara perhiasan seorang mukmin adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (surban). Kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah (surban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau songkok. Adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka ini adalah kebiasaan orang di luar Islam.

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ

"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1359), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4077), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1104 & 3584)]

Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

كَانَ الْقَوْمُ يَسْجُدُوْنَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْقَلَنْسُوَةِ وَيَدَاهُ فِيْ كَمِّهِ

"Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) secara mu’allaq dengan shighoh jazm, Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]

Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

رَأَيْتُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَلَنْسُوَةً بَيْضَاءَ مِصُرِيَّةً

"Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)]

Inilah beberapa hadits dan atsar yang menunjukkan bahwa para salaf (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in), dan generasi setelahnya memiliki akhlaq, dan kebiasaan, yaitu menutup kepala baik di luar sholat, apalagi dalam sholat. Kebiasaan dan sunnah ini telah ditinggalkan oleh generasi Islam, hanya karena alasan malu, dan tidak sesuai zaman –menurut sangkaannya- !! Terlebih lagi dengan munculnya berbagai macam model, dan gaya rambut yang terkenal, seperti model Duran-Duran, Bechkham, Mandarin, dan lainnya. Semua ini menyebabkan sunnah memakai penutup kepala mulai pudar, dan menghilang. Nas’alullahas salamah minal fitan.

Jadi, disunnahkan bagi setiap orang yang mau melaksanakan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai imamah (sorban), songkok, atau lainnya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah. Boleh melakukan shalat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki, sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita, bukan untuk kaum pria. Namun tentunya jangan dijadikan kebiasaan seorang masuk ke dalam sholat ataupun di luar sholat tanpa mengenakan surban atau songkok.

Seorang yang tidak memakai penutup kepala -tanpa udzur-, maka makruh hukumnya. Terlebih lagi ketika melakukan shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya secara berjamaah. [Lihat As-Sunan wal Mubtadaat (hal. 69) karya Asy-Syuqoiriy].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Menurut hematku, sesungguhnya shalat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." (Permulaan hadits di atas adalah:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ مَنْ تُزُيِّنَ لَهُ

"Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." [HR Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’aani Al-Atsar (1/221), Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi di dalamAs-Sunan Al-Kubra (2/236) dengan sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalamAl-Majma’ Az-Zawa’id (2/51). Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1369]

Syaikh Al-Albaniy berkata lagi, "Tidak memakai tutup kepala bukan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk ini ; namun sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengenyampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala.

Adapun argumentasi yang membolehkan membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang dari Jama’ah Anshorus Sunnah di Mesir adalah dengan mengkiaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah usaha kias terburuk yang mereka lakukan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan termasuk dalam manasik, yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.

Seandainya kias yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. [Lihat Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah (hal. 164-165)].

Tidak pernah disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak memakai tutup kepala ketika shalat kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai imamah ketika shalat -selain pada saat melakukan ihram-, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya. Yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti. [Lihat Ad-Dinul Khalish (3/214) dan Al-Ajwibah An-Nafi’ah an Al-Masa’il Al-Waqi’ah (hal.110)]

Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa shalat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, dan sholat tidak batal sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan mayoritas ulama lain. Namun jangan disangka kalau hukum sekedar makruh, oh boleh dengan bebas tidak pakai tutup kepala, tidak demikian !! Karena ini bukan kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat. [Lihat Al-Majmu’ (2/51).

Anggapan orang awam bahwa menjadi makmum di belakang imam yang tidak memakai tutup kepala adalah tidak boleh. Ini adalah tidak benar. Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan, sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan shalat, dan mengikuti semua sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 75 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/?p=301

ADA APA DENGAN SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

KENAPA HARUS MEMUSUHI SYAIKH MUHAMMAD HASSÂN??

Transkrip Ceramah

Fadhîlatu asy-Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabî


Pertama : Kami telah mengenal Syaikh Muhammad Hassân semenjak 10 tahun yang lalu –ini bukan waktu yang singkat-. Kami telah menasehati beliau sebelum orang lain menasehatinya. Saya telah menasehati Muhammad Hassân pada tahun 2000 sampai-sampai ia menjadi murka kepadaku. Kami ketika itu sedang sarapan dan ia keluar meninggalkan sarapannya dalam keadaan marah. Akan tetapi hal ini tidak menghalangi kami untuk tetap terus menjalin persaudaraan (ukhuwwah) dan memberikan nasehat, dan tetap saling menasehati dan memberikan wasiat di dalam kebenaran dan kesabaran.

Muhammad Hassân 10 tahun yang lalu –baik kita kehendaki maupun tidak- bukanlah Muhammad Hassân yang sekarang ini. Program-program (dakwah) di televisi telah bermunculan dan beliau memiliki andil di dalam menyebarkan aqidah dan dakwah (salafiyah). Beliau memiliki pengaruh yang nyata pada seluruh negeri Islam, setidak-tidaknya di dalam memberikan hidayah (bayân wa irsyâd, bukan hidayah taufik, pen) terhadap manusia secara umum.

Sebagaimana telah kami utarakan, bahwa dakwah salafiyah itu bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Sayyid Quthb walaupun kami memperingatkan darinya. Dakwah salafiyah juga bukanlah dakwah yang hanya memperingatkan dari Ibnu Lâdin walaupun kami juga memperingatkan darinya. Bukan pula yang hanya memperingatkan dari aktivitas takfîr (pengkafiran) walaupun kami turut memperingatkan darinya. Namun, dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kepada cahaya. Dan yang terpenting adalah aqidah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

Banyaknya dosa namun tauhidnya lurus lebih baik daripada tauhidnya rusak dengan dosa yang sedikit.”

Apa artinya? Artinya adalah bahwa dakwah kita ini adalah dakwah aqidah. Apabila beliau memiliki aqidah yang lurus maka inilah yang pokok…

Muhammad Hassân saat ini, beliau banyak mengisi di program-program (dakwah) di televisi dan Alloh pun menganugerahkan kepadanya semangat. Kami melihat… bahwa dakwah beliau adalah dakwah aqidah dan mengikat manusia dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, mengutip ucapan para ulama seperti Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimîn dan al-Albânî dan memuliakan mereka. Manakah yang lebih utama (harus kita lakukan) di dalam dakwah kita, membantu, menasehati dan mendekatinya ataukah kita rusak, hancurkan (kehormatannya), dan menvonisnya bid’ah dan sesat?!

Yang manakala dia bertaubat (dari kesalahannya) kita malah berkata kepadanya “taubatmu tertolak”!

Manakala dia menghadap, kita malah berkata padanya dengan membelakanginya!

Apakah ini ada maslahat syar’i-nya walaupun hanya sedikit saja?!

Muhammad Hassan ketika datang untuk kesekian kalinya, kami duduk bersama beliau, dan ketika itu hadir bersama kami saudara DR. Muhammad Mûsâ Nashr dan saudara DR. Bâsim al-Jawâbirah. Kami pun memberikan beberapa nasehat kepada beliau (Syaikh Muhammad Hassan). Terutama tentang sikap beliau terhadap Sayyid Quthb. Lantas beliau berkata kepadaku secara tegas : “Ketika saya membaca buku Anda, Haqqu Kalimah al-Imâm al-Albânî fî Sayyid Quthb, saya katakan, bahwa seakan-akan Anda menulisnya dengan lisanku. Semenjak saat itu-lah saya meniadakan semua penukilanku dari Sayyid Quthb di dalam semua buku-bukuku.”

Siapa yang berkata seperti ini?! Lantas apakah layak kita mengatakan kepadanya, “Anda pendusta!! Anda hanya mengada-ada dan mengatakan hal ini karena pura-pura (taqiyah) dan main-main saja. Kami tidak mau menerima taubat Anda, kembalilah Anda kepada kesesatan Anda yang sebelumnya!” Ataukah selayaknya kita mengatakan kepadanya, “Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan”, lalu kita memegang tangannya dan mendekatinya, dan moga-moga hal ini dapat menjadi pembuka (kebaikan), tidakkah ini adalah lebih utama.

Kemudian, selepas kepergianku, datang sebagian rekan (menginformasikan) bahwa ada sejumlah orang rendahan yang mengobarkan kekacauan dan melakukan perbincangan yang panjang mengenai kunjunganku ini, mereka membangun beberapa hal di atasnya (untuk menvonis) tanpa adanya nasehat dan tanpa melakukan pembicaraan –terhadap salah satu fihak dan tentang vonisnya-. Tatkala datang sebagian rekan dari golongan orang yang mengobarkan (fitnah) dunia tanpa bukti, tanpa ilmu, tanpa argumentasi yang nyata, tanpa nasehat dan tanpa ada sedikitpun cara kritik (yang ilmiah), maka kami pun menghubungi Muhammad Hassân pada pagi hari, namun tidak diangkat. Ketika sore hari kami dapat menghubunginya, kami bertanya kepada beliau yang singkatnya seperti ini : “Dinukil dari Anda ucapan-ucapan tertentu yang sebagian manusia menjadikannya sebagai bukti untuk menvonis Anda bid’ah, kami bermaksud mendengar jawaban Anda tentang hal ini. Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?” Syaikh Masyhur lah yang menanyakan ini seakan-akan beliau sedang menginvestigasi.

“Apa sikap Anda tentang pengkafiran terhadap penguasa?”

Dia (Syaikh Muhammad Hassan) menjawab : “Pengkafiran terhadap penguasa termasuk perbuatan khowârij, hal ini tidak boleh (hukumnya). Kami menganggap penguasa sebagai ulil amri dan kami menasehati mereka (dengan cara baik). Kami memohon kepada Alloh untuk memberikan hidayah-Nya kepada kami, Anda dan mereka (para penguasa), dan mendoakan mereka (dengan kebaikan).”

“Apa sikap Anda terhadap Sayyid Quthb?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Sayyid Quthb bukanlah termasuk ulama. Beliau memiliki aqidah yang menyimpang, dan tidak boleh bagi penuntut ilmu menekuni buku-buku beliau.”

Apakah kita menginginkan lebih dari ini?

Beliau (Syaikh Muhammad Hassan) memiliki ucapan (yang memuji) Usâmah bin Lâdin pada 10 tahun yang lalu. Mereka (para penfitnah) itu senantiasa mengambil ucapannya ini sampai sekarang (untuk mendiskreditkan Syaikh Syaikh Muhammad Hassan). Sepuluh atau delapan tahun yang lalu (memang dia memuji Syaikh Muhammad Hassan). (Namun sekarang) dia berkata :

“Saya tidak mendukung pemikiran Usâmah bin Lâdin maupun al-Qaeda. Cukuplah apa yang mereka lakukan itu. Aktivitas mereka ini tidak memiliki dalil atau sunnah!”

“Apa pendapat Anda tentang aktivitas bom bunuh diri?”

(Syaikh Muhammad Hassan) : “Aktivitas bom bunuh diri yang berlangsung di negeri kaum muslimin termasuk kerusakan. Tidak boleh dan tidak sepatutnya (hal ini dilakukan), sebab hal ini termasuk membunuh diri sendiri.”

Apakah Anda menginginkan lebih dari ini?!!

Mereka (anehnya) mengatakan bahwa taubatnya ini tidak benar dan hanya main-main saja.

Wahai saudaraku, tidaklah (dikatakan) beriman salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai apa yang ada pada saudaranya sebagaimana ia mencintai apa yang ada pada dirinya sendiri.

Apabila Anda berada di posisinya, apakah Anda akan mengatakan lebih banyak dari hal ini?

Wahai saudara-saudaraku, seorang pria yang berada di tempatnya, yang ditunggu-tunggu oleh orang yang mencintai dan membencinya, dari kalangan khusus dan masyarakat umum.

Kita saat ini berada di majelis hanya berlima. Kita terkadang berbicara dengan bahasa yang simple (sederhana), tentu saja ucapan kita ini lebih banyak dijaga dan lebih berhati-hati apabila kita di majelis dengan lima puluh orang.

Apabila (kita) sedang direkam, atau berada di Masjid, maka ucapan perlu lebih dijaga lagi. Apalagi jika di program televisi yang disaksikan oleh jutaan orang, baik orang yang mencintai maupun yang membenci, yang memusuhi maupun yang menyokong, orang yang menunggu-nunggu dan mencatat. Tidakkah jika pada saat itu saya tidak berbicara dengan teratur dan sistematis, bisa jadi ucapanku difahami (secara salah), diriku ditentang dan saya dilarang dari kebaikan ini.

Jadi, (setiap sesuatu) ada fasenya. Saya pernah mengetahui ucapan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn yang mengisyaratkan hal yang serupa dengan perkataan ini : “Bahwa manusia itu ada fasenya. Tidak boleh kita berinteraksi dengan manusia hanya menggunakan satu fase saja.”

Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di zaman beliau yang mulia pernah bersabda :

“لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه “

“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada ahli kitab. Apabila kalian melihat mereka di jalan, maka desaklah mereka sampai menyingkir ke pinggir.”

Siapakah diantara kita yang bisa menerapkan hadits ini saat ini?!! Sama saja baik di negeri Barat maupun Timur!! Bahkan di negeri dua tanah suci yang mulia.

Jawabnya adalah tidak ada (yang bisa). Apa sebabnya?? Kami katakan, (hal ini disebabkan) perbedaan fase.

Saya katakan : apakah perbedaan fase hanya berlaku untuk hal itu saja? Ataukah juga berlaku untuk hal itu dan selainnya, baik berupa ucapan maupun perbuatan?!

Jadi, wajib bagi kita memperhatikan semua hal ini. Adapun menjadikan semua manusia itu seakan-akan mereka ini adalah alat salin, maka ini termasuk kezhaliman. Atau menjadikan dakwah salafiyah seakan-akan organisasi militer, kerjakan! Jangan kerjakan! Maka ini adalah penyelewengan dan perobahan.

Jadi, buah dari majelis tersebut adalah kebaikan yang banyak, dan beliau banyak kembali (bertaubat) kepada kebenaran. Sembari kami tetap memohon supaya Alloh menambah lebih. Akan tetapi, kami berkeinginan untuk menjadi penolong bagi saudara-saudara kami dari syaithan, bukannya malah kami menjadi penolong bagi syaithan terhadap saudara-saudara kami.

Dakwah salafiyah itu adalah dakwah yang mengeluarkan manusia dari kegelelapan menuju kepada cahaya.

Sumber : http://almenhaj.net

التجريح والتعديل والتبديع
والشيخ محمد حسان

أولا: معرفتنا بالشيخ محمد حسان من عشر سنوات -ليست قريبة- ومناصحتنا له قبل أن يناصحه غيرنا، أنا ناصحت محمد حسان سنة 2000 حتى غضب مني ، وكنا على إفطار وخرج مغاضباً من افطاره ، ولكن هذا لم يمنعنا من استمرار الاخوة والنصيحة ولم يمنعنا من استمرار التناصح ؛والتواصي بالحق والتواصي بالصبر .

محمد حسان قبل عشر سنوات - شئنا أم أبينا - ليس محمد حسان اليوم ، وقد فتحت الفضائيات وله جهود في نشر العقيدة والدعوة وله تأثير واضح في كل البلاد الاسلامية على الاقل في باب هداية عامة الناس ، وكما قلنا الدعوة السلفية ليس فقط دعوة تحذير من سيد قطب ، وإن كنا نحذر من سيد قطب ، وليس الدعوة السلفية هي دعوة التحذير من ابن لادن فقط وإن كنا نحذر من ابن لادن ، وليست التحذير من التكفير فقط ،وإن كنا نخذر من التكفير . الدعوة السلفية دعوة اخراج الناس من الظلمات إلى النور، وأهم ذلك العقيدة ، عندما يقول شيخ الاسلام ابن تيمية :

« كثرة الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع قلة الذنوب »

معناه ماذا ؟ أن دعوتنا دعوة عقيدة ، فإن كانت عنده عقيدة صحيحة فهذا الأصل ، …..

محمد حسان -الآن- وقد فتحت له الفضائيات ورزقه الله نشاطاً ، ونرى … دعوته بالعقيدة وربط الناس بالكتاب والسنة ، والنقل عن العلماء ؛ كابن باز وابن عثيمين والالباني؛ وتعظيمهم ، أيهما أولى بدعوتنا أن نآزره وأن نناصحه وأن نقربه ، أم أن نكسره وان نهزمه وأن نبدعه وان نضلله ؟! ، وإذا تاب أن نقول له توبتك مرفوضة ! وإذا أقبل نقول له أدبر ! هل هذا من المصلحة الشرعية في شيء؟!

فمحمد حسان لما جاء في هذه المرة ، جلست معه - وكان موجوداً معنا أخونا الدكتور محمد موسى نصر وأخونا الدكتور باسم الجوابرة - ونصحته عدة نصائح ، أهمها موقفه من سيد قطب . فقال لي بالحرف الواحد : « لما قرات كتابك حق كلمة الامام الالباني في سيد قطب» ، قلت :« كأنك تكتب على لساني ، فمنذ ذلك الوقت نفيت كل نقولي عن سيد قطب في أي كتاب من الكتب » .

فمن قال هذا ، أنقول له انت كذاب ؟؟!! وتفتري وتقول هذا تقية وتلاعباً ولا يجوز ان نقبل منك التوبة وارجع إلى ضلالك القديم .

أم نقول له جزاك الله خيراً ونأخذ بيده ونقربه لعل هذا يكون فاتحة لما هو أولى .

ثم بعد أن سافرت جاء بعض الاخوة وقد أثار بعض الهمج فوضى وكلاما طويلا عن هذه الزيارة وبنى عليها أموراً دون أن ينصح، ودون أن يتكلم -أنت الخصم والحكم- فلما جاء بعض الاخوة من طرف هذا الانسان الذي أثار الدنيا بدون بينة ودون علم ودون بصيرة ودون نصيحة ودون أدنى وجه من وجوه النقد ، اتصلنا بمحمد حسان -في الصباح - فلم يرد، وإذ به يتصل بالمساء قلنا له بعبارة قصيرة : ينقل عنك أقوال معينة جعلت بعض الناس يبدعونك ، فنحن نريد ان نسمع جوابك.

فما موقفك من سيد قطب - الشيخ مشهور كان يسأله كأنه محقق-

ما موقفكم من تكفير الحكام ؟

قال: تكفير الحكام فعل الخوارج ولا يجوز ونحن نعتبرهم أولياء أمور ونناصحهم ونسأل الله لنا ولكم ولهم الهداية والدعاء لهم.

ما موقفكم من سيد قطب ؟

سيد قطب ليس من أهل العلم وله عقائد ضالة ولا يجوز لطلبة العلم أن يقتنوا كتبه

ماذا نريد أكثر من هذا ؟

له كلمة باسامة بن لادن قبل عشر سنوات وما زالوا يؤاخذنه بها للآن .

قبل عشر سنوات أو ثمان سنوات

قال : أنا لا أؤيد أفكار أسامة بن لادن ولا القاعدة ، ويكفي هؤلاء أنهم فعلوا وفعلوا ، وأفعالهم بلا دليل أو سنة

ما رأيك بالعمليات الانتحارية ؟؟

العمليات الانتحارية التي تجري في بلاد المسلمين فيها من المفاسد ولا يجوز ولا ينبغي وهذه قتل للنفس .

ماذا تريد أكثر من ذلك ؟؟!!

قالوا هذه التوبة غير صحيحة توبة يتلاعب بها

يا اخي لا يؤمن احدكم حتى يحب لاخيه ما يحب لنفسه

لو كنت مكانه ماذا تقول اكثر من ذلك ؟

يا اخواني : رجل في موضعه يتربص به المحب والشانئ والخاص والعام.

فنحن الآن في المجلس خمسة ، قد نتكلم بسهولة ، فهل يكون كلامنا نفس الكلام ام متحفظ أكثر فيما إذا كان المجلس خمسين .

وإذا كان في تسجيل ، أو إذا كان في مسجد سيكون بتحفظ أكثر و أكثر ، وإذا كان في فضائية يحضرها الملايين من المحبين والمبغضين والشانئيين والمؤيديين والمتربصين والرسميين ألا يكون هنالك عبارة أعرف اذا تكلمت بها على نسق قد تفهم عني وقد يؤلب علي وقد امنع من هذا الخير

إذن هنالك ظروف ، وانا رأين كلمة للشيخ ابن عثيمين فيها الاشارة الى مثل هذا القول :أن الناس لهم ظروف ، فلا يجوز ان تعامل الناس على ظرف واحد .

فالرسول صلى الله عليه وسلم في زمانه الشريف كان يقول : “لا تبدؤوا أهل الكتاب بالسلام وإذا رأيتموهم في طريق فاضطروهم إلى أضيقه ” من منا يستطيع أن يطبق هذا الحديث اليوم ؟!!سواء في بلاد الغرب او في بلاد الشرق !!حتى في بلاد الحرمين الشريفين .

الجواب : لا

فما السبب ؟؟

نقول اختلاف الظروف

أقول : أأختلاف الظروف في هذه فقط ؟ ام فيها وفي غيرها من القول أو الفعل !؟

إذن يجب ان نراعي هذه الأمور ، أما ان نأخذ الناس كلهم كأنهم آلة ناسخة هذا ظلم ان نأخذ الدعوة السلفية كانها مؤسسة عسكرية .افعل ولا تفعل هذا تحريف وتغيير

إذن ما حصل في الجلسة هو خير كثير وتراجع إلى كثير من الحق واملنا بالله بالمزيد لكن نريد ان نكون اعوانا لاخواننا على الشيطان لا نريد ان نكون اعوانا للشيطان على اخواننا

والدعوة السلفية هي دعوة اخراج الناس من الظلمات الى النور